JA’FAR bin Abu Thalib melihat peperangan Mu’tah sebagai kesempatan emas untuk meraih kemanangan besar bagi Islam, atau mendapatkan syahid. Ja’far tahu benar bahwa kaum muslimin tidak bisa melewati peperangan ini dengan mudah.
Ini bukan peperangan kecil. Ini adalah perang yang belum pernah diterjuni oleh kaum muslimin sebelumnya.
Perang melawan pasukan kerajaan besar dengan persenjataan lengkap dan berpengalaman. Suatu kemampuan yang tidak dimiliki oleh bangsa Arab. Walaupun begitu, Ja’far sangat merindukan peperangan ini. Dia termasuk satu dari tiga orang panglima yang dipilih oleh Rasulullah.
Baca Juga: Kisah Asma binti Umais bersama Suaminya Ja’far bin Abu Thalib
Ja’far bin Abu Thalib: Kemenangan Islam atau Syahid
Di hari yang mencekam, dua pasukan besar pun berhadapan.
Semestinya Ja’far merasa kecut dan gentar melihat balatentara Romawi yang berjumlah 200 ribu orang prajurit.
Akan tetapi, ia merasa sebaliknya. Semangat juangnya meningkat, karena sebagai mukmin pejuang, dan sebagai ahli perang, dia merasa akan mendapat lawan yang seimbang.
Sewaktu bendera pasukan Islam hampir jatuh terlepas dari tangan kanan Zaid bin Haritsah, dengan cepat, Ja’far menyambarnya.
Dengan bendera di tangan kanan, ia terus berperang dengan gagah berani, bukan mencari kemenangan, melainkan mencari syahid.
Ja’far dikepung oleh banyak prajurit musuh. Ia merasa kudanya menghalangi geraknya, maka ia turun dari kuda dan menerjang ke sana kemari. Pedangnya menebas setiap leher musuh yang mendekat, laksana malaikat pencabut nyawa. Sekilas ia melihat seorang tentara musuh melompat hendak menunggangi kudanya.
Karena ia tidak ingin kudanya dikendarai manusia najis, Ja’far pun menebas kudanya dengan pedangnya sampai tewas.
Ia terus menerjang ke barisan musuh. Pasukan Romawi yang berlapis-lapis itu pun porak-poranda seakan diterjang badai. Ia terus menerjang seraya mengucapkan,
“Duhai surga, aduhai sangat dekatnya
Harum semerbak baunya, sejuk segar air minumnya.
Tentara Romawi telah mendekati hukumannya
Terhalang jauh dari sanak keluargannya
Jika bertemu, kuhabisi mereka semua”
Pasukan Romawi melihat kemampuan tempur Ja’far. Meski seorang diri, Ja’far seperti satu pasukan perang. Maka, mereka mengepungnya dengan ketat untuk membunuhnya.
Mereka merangsek seperti orang yang kehilangan akal sehat. Kepungan mereka semakin dekat hingga tak ada jalan keluar bagi Ja’far.
Akhirnya, mereka berhasil menebas tangan kananya dengan pedang hingga putus. Namun, sebelum bendera pasukan Islam jatuh ke tanah, secepat kilat Ja’far menyambarnya dengan tangan kiri.
Namun tidak lama kemudian pasukan, musuh berhasil menebas tangan kirinya. Lalu Ja’far menggamit bendera itu dengan kedua pangkal lengannya.
Pada saat-saat genting ini, ia bertekad untuk tidak membiarkan bendera pasukan Islam menyentuh tanah selama ia masih hidup.
Di kala jasadnya yang suci terbujur kaku, bendera pasukan masih tertancap diantara kedua pangkal lengan dan dadanya, bendera itu masih berkibar dan memanggil-manggil Abdullah ibnu Rawahah.
Abdullah ibnu Rawahah langsung melompat menyibakkan barisan musuh lalu menyambar bendera dan meneruskan peperangan untuk mengukir sejarah indah.
Demikianlah, Ja’far mempertaruhkan nyawa untuk meraih syahid. Dan, dalam kondisi itulah ia menghadap Allah yang Mahatinggi lagi Mahamulia, memberikan pengorbanan tak terkira, berselimutkan darah kepahlawanan.
Allah, Zat yang Maha Mengetahui, mengabarkan perjalanan perang, dan nasib Ja’far kepada Rasul-Nya. Rasul pun menangis.
Setelah itu, Rasulullah pergi ke rumah saudara sepupunya ini. Beliau memanggil anak-anak Ja’far. Beliau memeluk dan mencium mereka, sementara air matanya yang mulia bercucuran tak tertahankan. [Cms]
Sumber : 60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW/Khalid Muhammad Khalid/Al Itishom