ChanelMuslim.com – Asma binti ‘Umais, wanita mulia yang sangat teguh memegang keimanan merupakan shahabiyyah yang masuk Islam di masa awal kedatangannya.
Melalui dakwa Abu Bakar, Asma’ dan suaminya, Ja’far bin Abu Thalib merasakan manisnya iman dan melaksanakan hijrah ke Habasyah begitu ada perintah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sejak masuk Islam, Ja’far sering kali duduk bersama Rasulullah dan para shahabatnya untuk mempelajari wahyu-wahyu Allah dan nilai-nilai Islam dan saat kembali ke rumahnya, Ja’far mengajarkannya kepada istrinya.
Baca Juga: Puisi Cinta Atikah binti Zaid untuk Kepergian Sang Kekasih
Kisah Asma binti ‘Umais bersama Suaminya Ja’far bin Abu Thalib
Ja’far dan ‘Asma’ merasakan betul siksaan yang mereka alami atas keyakinannya menjadi seorang mukmin, saat mereka hijrah ke Habasyah kenangan untuk menjalankan agama yang agung itu dirasakannya keduanya.
Setiba di Habasyah mereka berdua pergi ke air terjun Habasyah yang terkenal sejuk dan indah untuk membersihkan luka-luka bekas siksaan orang-orang Quraisy.
Kaum Muslimin yang menngungsi juga merasakan perlindungan yang baik dari Raja Najasyi. Raja yang adil dan sangat menyambut mereka dengan penuh kehangatan serta memberikan setiap fasilitas yang menjamin keamanan dan ketenangan mereka dalam menjalankan ajaran agama mereka.
Di negeri ini, Asma’ melahirkan tiga anaknya, Abdullah, Muhammad, dan ‘Aun. Ja’far dan Asma’ hidup nyaman dengan anak-anaknya di bawah perlindungan Najasyi selama 10 tahun.
Saat tiba waktunya mereka untuk pulang ke Madinah, karena kaum muslimin telah hijrah ke Madinah, mereka sangat menantikannya karena kerinduan untuk bertemu dengan Rasulullah setelah 10 tahun lamanya terpisah.
Suatu hari, Ja’far bersama Rasulullah dan para shahabat dalam perjalanan kembali ke Madinah setelah melaksanakan umrah di Mekkah. Sepanjangn perjalanan, Ja’far mendengar banyak dari cerita tentang perang Badar, Uhud, dan perang-perang lainnya dari para shahabatnya.
Hal ini menumbuhkan kerinduan yang menggelora dalam dirinya untuk terjun di medan jihad dan meraih mati syahid. Penantian Ja’far tidak berlangsung lama, karena bulan Jumadal Ula, tahun 8 Hijriyah, Rasulullah menyiapkan pasukan untuk menyerang daerah Mu’tah.
Panglima tertinggi yang ditunjuk oleh beliau untuk memimpin pasukan ini adalah Zaid bin Haritsah, lalu berkata, “Jika Zaid gugur maka yang menjadi penggantinya adalah Ja’far bin Abu Thalib dan jika Ja’far juga gugur, maka yang menjadi penggantinya adalah Abdullah bin Rawahah.”
Dalam perang tersebut Ja’far gugur sebagai syahid saat berusaha mempertahankan bendera kaum Muslimin. Ia wafat dengan meninggalkan 50 luka akibat tusukan tombak dan pukulan pedang. Tidak satupun luka-luka tersebut yang terdapat di bagian belakang pungguhnya.
Asma’ binti ‘Umais, istrinya bercerita, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangiku. Saat itu aku baru saja menyamak 40 lebih kulit, membuat adonan roti, dan memandikan anak anakku. Aku memandikan mereka dengan minyak dan membersihkan badan mereka.
Setibanya di rumahku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata ‘Bawalah putra-putra Ja’far kemari.’ Aku pun segera membawa mereka. Tiba-tiba Rasulullah menciumi mereka satu persatu sementara air matanya jatuh bercucuran.
Aku merasa was-was, lalu bertanya “Wahai Rasulullah biarlah ayah dan ibuku sebagai penembusmu apa yang membuatmu menangis? Apakah engkau mendapat berita tentang keadaan Ja’far dan pasukannya?’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab ‘Benar, hari ini mereka gugur.’ Aku segera menghambur ke dalam kamar sambil menjerit histeris sehingga banyak wanita yang berdatangan untuk menenangkanku.
Sedangkan Rasulullah langsung menemui istri-istri dan keluarganya seraya berkata kepada mereka ‘Jangan lupa buatkan makanan untuk keluarga Ja’far karena saat ini mereka telah berlalu terguncang dengan berita kematian kepala keluarganya.’ [Ln]
Sumber: 35 Sirah Shahabiyah, Oleh: Mahmud Al-Mishri