ChanelMuslim.com – Perspektif menikah dari sudut pandang warga negara lain dengan latar belakang budaya yang berbeda dari Indonesia diceritakan dengan menarik oleh Ketua Hikari Parenting School Hifizah Nur, S.Psi., M.Ed.
Dalam suatu sesi diskusi di kelas, sensei memberi kami tema tentang “Bila pernikahan tidak disetujui ortu, apakah akan tetap menikah meskipun tidak melibatkan mereka?”.
Topik ini lumayan mendapatkan perhatian dari teman-teman sekelas yang selalu bosan mengikuti kelas percakapan di siang yang melelahkan.
Tema kali ini sangat menarik dan cocok untuk anak muda. Apalagi di antara teman-teman sekelas yang bertiga belas orang orang itu, hanya saya sendiri yang sudah menikah, alias lebih senior dari yang lain.
Baca Juga: 12 Pertimbangan untuk Menikah
Perspektif Menikah dari Berbagai Negara
Awalnya, diskusi berjalan biasa, setiap orang mengungkapkan pendapatnya. Ada yang memilih tetap melakukan pernikahan, ada juga yang mengungkapkan dengan pasti bahwa ortunya tidak akan menentang pernikahannya.
Saya sendiri yang menikah dengan smooth meskipun tanpa proses pacaran mengungkapkan orang tua saya ok-ok saja ketika saya menikah, jadi, lancar seperti jalan tol.
Selanjutnya, diskusi semakin menjauh dari tema inti.
Teman-teman yang kebanyakan masih berusia di awal 20-an mengungkapkan bahwa mereka suatu saat ingin menikah, tapi sekarang masih ingin memuaskan keinginan-keinginan pribadi, seperti bekerja, mengumpulkan banyak uang dan pergi ke tempat-tempat terkenal di dunia.
Karena itulah mungkin, usia pernikahan semakin lama semakin menua. Di Jepang saja rata-rata usia pernikahan kira-kiar 29 tahun untuk perempuan dan 35 tahun untuk laki-laki.
“Kalau menikah, pasti akan sulit melakukan hal-hal yang menyenangkan,” kata seorang teman.
Teman laki-laki, yang mendengar itu langsung menukas, “Kenapa? Saya tidak keberatan kalau istri saya kelak punya keinginan untuk bersenang-senang sendiri”.
Teman perempuan saya yang lain mengungkapkan, ”Saya tidak percaya kalau ada laki-laki yang mau memberi kebebasan kepada isterinya seperti itu.”
Wah, diskusi mulai memanas nih, dua pola pikir yang berbeda, dari barat dan dari timur. Yang satu menganut kebebasan, satu lagi sangat paham tentang aturan-aturan rumah tangga yang biasa ada di dunia timur.
Baca Juga: Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan Karya Salim A Fillah
Pernikahan seharusnya menjadikan Manusia Lebih Baik
“Buktinya, teman kita ini punya pikiran seperti itu,” ujar saya sambil menunjuk teman laki-laki yang tadi bicara.
“Bagi saya, pernikahan itu sesuatu yang mengikat, tidak bisa bebas, makanya saya tidak ingin menikah,” ujar teman dari Kanada yang berdarah Taiwan.
Selanjutnya, teman laki-laki yang berasal dari Eropa berkata, “Karena itu, sebelum menikah, kita harus saling mengenal dulu yang lama, bahkan kalau bisa tinggal bersama,” ujarnya.
Wah sudah mulai melenceng nih, seru saya dalam hati.
Lalu saya bilang, “Mungkin, pola pikir kita beda, tapi saya sendiri, tanpa melewati proses hidup bersama sebelum menikah pun, sampai saat ini, pernikahan saya lancar-lancar saja. Tidak ada masalah-masalah besar.”
Teman dari Kanada bertanya kepada sensei: “Sensei, apakah sensesi setelah menikah tidak mendapat masalah dengan suami sensei?”
Kata sensei, “Tentu saja ada, suami saya orang yang sangat memelihara kebersihan, saya pun juga sama, tapi suami saya sangat kibishii dalam hal ini.
Di awal-awal setelah menikah, meskipun saya sudah membersihkan rumah, tetapi suami saya selalu mengeceknya lagi dan mengkritik hasil kerja saya yang bagi dia kurang bersih. Tetapi setelah berjalan setahun, masing-masing pihak sudah bisa saling beradaptasi,” ujar sensei sambil tersenyum.
Karena sensei tahu, hanya saya yang sudah menikah di kelas itu, sensei bertanya pada saya.
”Kalau Vivi san sendiri, sesudah menikah, bagaimana rasanya? Apakah menjadi lebih baik atau menjadi lebih buruk?” tanya sensei.
“Saya rasa, saya menjadi lebih baik dari sebelumnya,” kata saya.
“Misalnya, sebelum menikah, saya orang yang keras kepala, kurang peduli dengan orang lain. Tapi setelah menikah, saya bisa jadi lebih memahami orang lain. Dan sekarang jadi mempertimbangkan keluarga saya dalam mengambil keputusan-keputusan,” tambah saya.
Baca Juga: Para Suami, Ciptakanlah Keharmonisan Pernikahan
Perbincangan Mengenai Perceraian
Perbincangan bergulir ke arah perceraian setelah menikah.
Ternyata, di negara teman laki-laki yang berasal dari Norwegia itu, tingkat perceraian sangat tinggi, mencapai 50%. Berarti, tidak ada hubungan antara mengenal luar dalam lebih dulu sebelum menikah, dengan kelanggengan pernikahan ya.
Lalu, di Jepang pun, angka perceraian meningkat pesat belakangan ini. Begitu juga di Korea, sampai-sampai pemerintah Korea membuat kebijakan untuk membawa kasus perceraian ke pengadilan, untuk mempersulit proses perceraian.
Di Jepang, bila pasangan suami isteri ingin bercerai sangat mudah. Mereka tinggal mengisi kolom perceraian yang diambil di kuyakusho, lalu bercerai begitu saja. Tentu saja, mereka harus membagi harta menjadi dua bagian sesuai kesepakatan mereka.
Akhirnya, saya bilang, ”Sensei, menurut saya, yang sangat penting dalam suatu pernikahan adalah masing-masing pihak harus menyadari kalau mereka sedang mengambil tanggung jawab yang berat. Kalau itu disadari oleh kedua belah pihak, saya yakin tidak akan terjadi apa-apa.dengan pernikahan itu.”
Sensei ternyata setuju dengan pendapat saya. Saya tidak tahu dengan teman-teman yang lain. Mungkin mereka masih harus menyerap, melihat dan belajar lebih banyak tentang dunia pernikahan.
Dalam Islam sendiri, para pemuda disarankan untuk segera menikah agar bisa tetap manjaga kesucian diri.
Baca Juga: Rahasia 20 Tahun Pernikahan Adrian Maulana
Konsep Pernikahan
Lalu, konsep pernikahan dalam Islam adalah perjanjian yang berat. Suatu tanggung jawab berat, yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Bukan suatu hal yang main-main.
Bagi saya, pernikahan adalah suatu proses dan juga suatu sarana yang bisa menjadikan saya lebih baik dari waktu ke waktu.
Pernikahan juga membuat saya bisa menjalani hidup ini dengan tenang, karena memiliki tempat berbagi, tempat mencurahkan kasih sayang, dan tempat memperkaya batin saya dengan pelajaran memaafkan.
Ya, memaafkan. Bagi diri saya sendiri yang masih sangat tidak sempurna menjadi ibu dan isteri yang baik di keluarga saya. Bagi anak-anak saya yang masih harus mengenal a ba ta tsa kehidupan.
Dan bagi suami saya yang masih belajar menjadi pemimpin dalam menjalankan bahtera rumah tangga ini, agar semua penumpang selamat sampai ke tujuan. Meraih keabadian syurga di akhirat kelak. Semoga.[ind]