PERNAHKAH sahabat muslim mendengar nama Zaid bin Haritsah? Ia merupakan anak angkat Rasulullah dan dikenal sebagai putra Muhammad.
Namun masa kecil Zaid bin Haritsah penuh dengan lika liku dan cobaan yang berat. Lantas bagaimana kisah seorang Zaid bin Haritsah? Bagaimana perjalanannya hingga bisa ditetapkan sebagai putra Rasulullah SAW?
Berikut kisahnya.
Baca juga : Rasulullah Bertakbir Saat Jalanan Naik dan Bertasbih Saat Jalanan Menurun
Masa Kecil Zaid bin Haritsah
Sudah lama sekali Su’da, istri Haritsah (ayah Zaid), ingin mengunjungi keluarganya di kampung bani Ma’an. Haritsah mempersiapkan hewan tunggangan dan perbekalan yang diperlukan istrinya itu.
Haritsah mengantar sang istri dan Zaid kecil yang masih dalam gendongan ke rombongan yang akan berangkat. Setiap kali ingin mengucapkan selamat jalan, ada rasa rindu yang menggelayut, sehingga ia terpaksa mengikuti sang istri dan anaknya yang sudah mulai berangkat dengan rombongan itu.
Rombongan pun terus berjalan, semakin jauh, dan tibalah waktunya bagi Haritsah untuk mengucapkan selamat jalan kepada istri dan anaknya. Ia tidak bisa menahan air mata yang terus berderai.
Lama ia terpaku di tempatnya berdiri, hingga rombongan itu hilang dari pandangannya. Ia merasa hatinya tercabut dari rongga dadanya. Ia seakan ikut dalam rombongan itu.
Su’da berada di kampung bani Ma’an cukup lama.
Suatu hari, kampung bani Ma’an dikejutkan oleh serangan kabilah lain yang menjadi musuh bani Ma’an, bani Ma’an mengalami kekalahan. Tidak sedikit penduduk yang menjadi tawanan, termasuk Zaid yang masih kecil.
Su’da kembali ke suaminya seorang diri.
Mendengar kejadian yang menimpa anaknya, Haritsah langsung pingsan.
Haritsah mulai berkelana mencari anaknya. Setiap kampung, kabilah, atau rombongan ia temui pasti menjadi tempat bertanya.
Untuk menghibur diri, ia menyandungkan syair-syair gubahannya dengan perasaan gundah-gulana,
“karena Zaid berderailah air mata
namun aku tak tahu bagaimana kabarnya
hidup dan menjadi asa
atau mati menemui ajalnya
Demi Tuhan aku tak tahu
aku hanya bertanya
di lembahkah ia celaka
atau di bukit ia binasa?
Di kala matahari terbit, kuterkenang padanya.
Bila surya terbenam ingatan kembali menjelma.
Tiupan angin membangkitkan kerinduan pula
Wahai …
alangkah lamanya aku menderita dan merana”
Perbudakan sudah berabad-abad dianggap sebagai satu kondisi sosial yang menjadi kebutuhan. Itulah yang terjadi di Yunani, bahkan pada masa kejayaan dan kemajuannya.
Begitu juga ia yang terjadi di Romawi. Pendeknya, itulah yang terjadi di seantero dunia, tidak terkecuali jazirah Arab.
Kabilah yang berhasil mengalahkan kabilah bani Ma’an dan menawan sebagian penduduknya, menjual tawanan itu di Pasar Ukadz.
Zaid kecil dibeli oleh Hakim bin Hizam. Di kemudian hari dihadiahkan kepada tantenya, yaitu Khadijah yang saat itu sudah menjadi istri Muhammad bin Abdullah yang belum diangkat menjadi Nabi.
Namun, sifat-sifat mulianya telah menunjukan bahwa dia memang dipersiapkan untuk menjadi Rasul.
Khadijah memberikan Zaid kepada sang suami, Muhammad, sebagai hadiah. Muhammad menerimannya dengan senang hati. Seketika itu juga ia dibebaskan dari statusnya sebagai budak. Muhammad mengasuhnya dengan penuh kasih sayang dan kelembutan.
Di suatu musim haji, beberapa orang di desa Haritsah berjumpa dengan Zaid di Mekah. Mereka menyampaikan kerinduan ayah dan ibunya kepadanya. Zaid balik menyampaikan pesan salam rindu dan hormatnya kepada kedua orang tuanya.
Ia berkata kepada orang-orang itu, “Tolong kabarkan kepada kedua orang tuaku bahwa aku di sini tinggal bersama seorang ayah yang paling mulia.”
Begitu Haritsah mengetahui tempat anaknya berada, segera ia berangkat ke Mekah, ditemani seorang saudaranya. Di Mekah, keduanya langsung menanyakan rumah Muhammad Al-Amin (terpercaya).
Setelah berhadapan muka dengan Muhammad saw. Haritsah berkata, “Wahai putra Abdul Muthalib., wahai putra dari pemimpin kaumnya, kalian penduduk Tanah Suci suka membebaskan orang tertindas, dan suka memberi makanan kepada para tawanan.
Kami datang kepadamu untuk meminta anak kami. Sudilah kiranya menyerahkan anak itu kepada kami dan jangan ditinggikan tebusannya.”
Rasulullah tahu benar bahwa hati Zaid telah terpaut kepadanya, namun pada saat yang sama beliau menghormati hak seorang ayah terhadap anaknya.
Maka, Nabi berkata kepada Haritsah, “Panggilah Zaid ke sini, suruh ia memilih sendiri. Seandainya dia memilih engkau, maka aku akan mengembalikan Zaid kepadamu tanpa tebusan.
Sebaliknya, jika ia memikulku, maka demi Allah, aku tidak akan menyerahkan orang yang telah memikulku!”
Wajah Haritsah berbinar. Ia tidak menyangka ada orang sepemurah itu. Ia berkata, “Engkau berlaku adil, bahkan lebih dari adil.”
Kemudian Nabi menyuruh seseorang untuk memanggil Zaid. Ketika Zaid tiba, beliau langsung bertanya, “Kamu mengenal mereka?” Ya, aku kenal. Ini ayahku dan ini pamanku,” jawab Zaid
Nabi mengulangi lagi apa yang telah dikatakannya kepada Haritsah, yaitu tentang kebebasan memilih bagi Zaid.
Tanpa pikir panjang, Zaid berkata kepada Rasulullah, “Tidak ada orang pilihanku kecuali engkau. Engkau adalah ayah dan pamanku!”
Mendengar itu, kedua mata Rasul berlinang air mata keharuan. Lalu beliau memegang tangan Zaid dan mengajaknya ke halaman Ka’bah, tempat orang-orang Quraisy sedang berkumpul, lalu berseru, “Saksikanlah bahwa mulai saat ini, Zaid adalah anakku yang akan menjadi ahli warisku dan aku menjadi ahli warisnya.”
Hartisah seakan-akan berada di awang-awang mendengar pernyataan itu. Ia sangat gembira. Bagaimana tidak, anaknya sekarang sudah terbebas dari status budak, bahkan menjadi anak angkat dari laki-laki yang dijuluki kaum Quraisy sebagai “orang yang jujur dan terpercaya”, keturunan bani Hasyim, tumpuan penduduk Mekah.
Haritsah dan saudaranya pulang ke kampungnya dengan hati lega, karena anaknya menjadi bangsawan kota Mekah dalam keadaan aman sentosa, setelah sekian lama ia mencarinya.
Rasulullah telah mengangkat Zaid sebagai anak, sehingga para penduduk Mekah hanya mengenal Zaid sebagai putra Muhammad. [MRR]
Sumber : 60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW/Khalid Muhammad Khalid/Al Itishom