DEFLASI atau penurunan harga secara umum bisa menjadi sinyal melemahnya konsumsi, daya beli masyarakat, dan turunnya pendapatan kelas menengah Indonesia.
Hal itu disampaikan oleh Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan Anis Byarwati menanggapi laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut Indonesia kembali mengalami deflasi sebesar 0,18% pada Juli 2024 secara bulanan atau month to month (mtm).
Sudah tiga bulan berturut-turut semenjak bulan Mei 2024, Indonesia mengalami penurunan harga secara umum atau dikenal dengan deflasi.
“Deflasi yang dialami Indonesia (mtm) dimulai pada bulan Mei 2024 sebesar 0,03 persen, kemudian lanjut ke bulan Juni 2024 sebesar 0,08 persen, dan terakhir terjadi pada bulan Juli 2024 sebesar 0,18 persen,” katanya di Jakarta (11/8/24).
Menurut anggota Komisi XI DPR RI ini, laporan BPS Bulan Juli menunjukkan bahwa, kelompok makanan, minuman dan tembakau menjadi kelompok penyumbang deflasi 0,97% dan memberikan andil deflasi 0,285.
“Beberapa komoditas utama penyumbang deflasi Juli 2024 adalah komoditas bawang merah, cabai merah, tomat dan daging ayam ras dengan masing-masing andil deflasi sebesar 0,11%, 0,09%, 0,07% dan 0,04%,” ungkapnya.
Baca juga: Salimah Terima Anugerah Kategori Ekonomi di Puncak Peringatan Hari Kebaya 2024
Deflasi Sinyal Melemahnya Konsumsi, Daya Beli, dan Turunnya Pendapatan Kelas Menengah
Legilslator perempuan PKS ini menjelaskan, sekilas terlihat bahwa deflasi merupakan fenomena ekonomi biasa, yaitu penurunan harga-harga dalam suatu waktu tertentu, seolah-olah menguntungkan masyarakat luas.
“Tetapi sesungguhnya perlu diwaspadai, penyebab terjadinya deflasi adalah permintaan barang turun sedangkan produksi meningkat. Permintaan turun bisa disebabkan terjadinya pelambatan kegiatan ekonomi yang kemudian berdampak ke penghasilan yang turun sehingga jumlah uang beredar pun menjadi berkurang,” katanya.
Menurut Anis, perlu terus dicermati melandainya harga karena sisi permintaan turun menjadi sinyal peringatan bagi pemerintah karena berpotensi menurunkan kontribusi konsumsi rumah tangga pada pertumbuhan ekonomi.
“Jika konsumsi rumah tangga turun maka akan menekan angka pertumbuhan ekonomi. Kemudian dari sisi investasi, pelemahan permintaan juga menjadi sinyal peringatan, karena investor akan berpikir ulang untuk melakukan investasi baru atau ekspansi usaha jika permintaan melemah,” ujarnya.
Wakil Ketua BAKN ini mengingatkan terjadinya deflasi tersebut konsisten dengan masalah yang krusial yang sedang dihadapi, turunnya pendapatan kelas menengah di Indonesia, sehingga menyebabkan daya beli kelas menengah mengalami penurunan berturut-turut selama enam bulan terakhir.
“Bahkan mereka terpaksa menggunakan tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal tersebut, terkonfirmasi dari laporan terbaru Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarkat (LPEM) Universitas Indonesia (UI) memperkirakan ada 8,5 juta kelas menengah yang jatuh ke kelas ekonomi yang lebih rendah,” katanya.
Anggota Fraksi PKS ini menyebut Pemerintah perlu segera mengambil langkah-langkah konkret untuk mengantisipasi dampak rambatan yang ditimbulkan oleh deflasi, baik yang bersifat jangka pendak maupun panjang.
“Perlu diingat Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2024 sebesar 5,05% (YoY), mengalami penurunan jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2024 sebesar 5,11% (YoY),” katanya.
Anis menyebut dalam jangka pendek, perlu segera dirumuskan perlindungan sosial bagi kelas menengah untuk konsumsi, biaya pendidikan dan kesehatan serta transportasi.
“Dalam jangka panjang, mempertimbangkan kembali kenaikan PPn tahun depan dan merevisi kembali UU Cipta Kerja yang tidak berpihak pada pekerja,” ujarnya.[ind]