SALAHKAH memarahi anak orang? Jika anak dipukuli oleh temannya tapi orangtua mereka keberatan anaknya disebut sebagai pelaku kekerasan.
Lalu, orangtua merasa tidak bisa sempurna mendidik anak dan memasukkan anak ke pesantren, apakah salah?
Baca Juga: Jangan Memarahi Anak di Depan Umum, Ini Alasannya
Pendiri Rumah Pintar Aisha Dyah Lestyarini mengatakan bahwa secara umum, saat kita dijahati atau melihat perbuatan jahat, jika kita bisa mengubah dengan tangan maka lakukan, jika tidak bisa dengan lisan dan jika tidak bisa juga maka bersabar dan ikhlas.
Memarahi Anak Orang
Semua sudah atas kehendak-Nya, serta mendoakan kebaikan orang yang berbuat jahat itu.
“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim).
Maksud dari mengubah dengan tangan adalah karena kita memiliki kekuatan, jabatan, kedudukan, maka dengan kekuatan dan jabatan itulah kita mengubah sesuatu yang tidak baik menjadi baik atau mencegah perbuatan jahat.
Tindakan mencegah perbuatan tidak baik kepada anak itu adalah tindakan yang tepat. Jikalau orangtua sempat marah kepada anak yang mengeroyok, itu bisa dimaklumi.
Orang tua mana yang tega saat melihat anaknya diperlakukan seperti itu. Jadi tindakan orangtua sudah tepat.
Lalu untuk menyikapi orang tua anak yang mengeroyok yang tidak terima, perlu bermusyawarah dengan mereka, untuk mendudukkan masalah yang sebenarnya.
Agar mereka mengerti dan memahami sehingga mereka juga akan menasihati serta mengontrol anaknya agar tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Jika para orang tua itu tetap tidak terima, maka ketauhilah di dunia ini ada Hukum Tabur Tuai.
“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri,…” (QS: Al-Isra’: 7).
Baca Juga: Cara Mengobati Trauma Anak Korban Kekerasan
Hukum Tabur Tuai
Sahabat Muslim, hukum tabur tuai, hukum karma atau sebab akibat itu ada sebagaimana bercocok tanam, apa yang kita tanam akan tumbuh sesuai yang kita tanam.
Engkau akan memperoleh apapun yang engkau berikan, apakah kebaikan, atau keburukan.
Ayah, Bunda, hidup itu juga seperti melempar bumerang, apapun yang kita lakukan akan kembali pada kehidupan kita.
Jika kita lempar keburukan maka keburukan itu akan kembali kepada kita. Jika yang kita lemparkan itu kebaikan maka kebaikan itu akan kembali kepada kita.
Banyak orang berpersepsi, saat kita tidak memaafkan orang yang menyakiti kita berarti kita sedang menghukum mereka.
Bahkan banyak orang juga berpikir, kalau kita disakiti maka kita harus balas menyakiti kalau perlu dengan cara yang lebih menyakitkan. Kita beranggapan kalau kita disakiti maka kita harus balas menyakiti. Biar adil.
Ayah, Bunda, jika engkau disakiti lalu engkau balas menyakiti lalu apa bedanya dirimu dengan mereka. Mereka berbuat dosa kepadamu, kamu juga berbuat dosa kepadanya.
Keduanya sama-sama berbuat dosa. Jadi dirimu itu sama dengan dia, sama-sama dzolim, sama-sama berbuat dosa.
Ayah, Bunda saat engkau disakiti maafkanlah dia meskipun mereka tidak pernah minta maaf kepadamu. Orang yang memberi maaf itu, pahalanya tak terbatas.
Mungkin saat ini, kita tidak merasakan banyaknya pahala itu namun, nanti saat di akhirat nanti.
Engkau akan begitu ridho bahkan setiap hari minta disakiti orang lain, lalu engkau memaafkan mereka setelah engkau tahu begitu besarnya pahala memaafkan itu.
“Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.” (QS. Asy-Syura: 40).
Jadi saat kita disakiti dan kita bersabar serta menyerahkan semua perlakuan mereka kepada Allah, ingatlah pahalanya akan diberikan kepadamu dan dosamu akan diberikan kepadanya.
Jadi tak perlu benci dan sakit hati saat ada orang yang menyakitimu. Allah itu maha adil kok.
Jadi Ayah Bunda, secara umum, kalau nanti ada orang yang menggunjing, ghibah, ngomongin kejelekanmu, menebar kebencian, memfitnah, maka ucapkan Alhamdulillah, pahalaku bertambah, dosaku berkurang.
Mereka yang suka ghibah, adu domba, fitnah, kelak di akhirat akan bangkrut. Sudah capek sholat, puasa, ngaji, sedekah, berbuat baik. Sudah lelah ngumpulkan banyak pahala, eehh lah dalah, pahalanya dikuras.
Nah kalau ia hobi gosip, ya pahalanya dikuras habis dibagi-bagikan kepada orang yang mereka ghosipin. Pasti bangkrut lah.
Kalau sudah habis nih pahalanya, terus masih banyak orang yang minta keadilan sama Allah, masih banyak orang yang dia dzolimi yang mengadu kepada Allah, lalu bagaimana, pahalanya sudah habis.
Kalau pahalanya habis, dosanya yang ditambahkan. Dosa orang yang mereka zalimi akan diambil dan diberikan kepada mereka yang menzalimi.
Bisa jadi, sudah senang ibadahnya banyak, pahalanya tinggi, bakalan masuk surga ternyata malah habis dibagi-bagikan kepada orang lain. Sedih nggak, bukan sedih lagi, suuaangaaaat sedih tur bangeeeet.
Sedekah yang paling merugikan dan paling menyakitkan adalah sedekah pahala saat di akhirat nanti. Parahnya lagi sudah pahalanya habis eh masih menampung dosa-dosa orang lain.
Orang lain yang berbuat dosa eh dia yang masuk neraka. Ini mah, sudah jatuh tertimpa tangga dan juga durian pula.
Kata Rasul ini yang namanya orang yang bangkrut, kan kasihan.
Makanya kita perlu mengingatkan misalnya kalau kita dalam satu groUp whatsapp kita bisa share hadis tentang bangkrutnya orang yang suka menggunjing, memfitnah orang, menyakiti orang lain, biar sadar.
Kalaupun tidak sadar-sadar juga, ya sudah yang penting kita sebagai muslim sudah mengingatkan.
Tahukah kalian siapa muflis (orang yang bangkrut) itu?”
Para sahabat menjawab, ”Muflis (orang yang pailit) itu adalah yang tidak mempunyai uang maupun harta benda.”
Kemudian Nabi menjelaskan,
“Muflis (orang yang bangkrut) dari umatku ialah, orang yang datang pada hari Kiamat membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat,
namun (ketika di dunia) dia telah mencaci dan (salah) menuduh orang lain, makan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain (tanpa hak).
Maka orang-orang itu akan diberi pahala dari kebaikan-kebaikannya. Jika telah habis kebaikan-kebaikannya, maka dosa-dosa mereka akan ditimpakan kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan ke dalam neraka.”
(HR. Muslim dan Ahmad).
Terakhir, terkait ikhtiar memasukkan anak ke pesantren. Kita memang bukan superman yang bisa segala hal.
Adakalanya kita perlu menyerahkan sebagian pendidikan bukan seluruhnya kepada orang lain di saat kita memang tidak bisa, karena kita kurang memiliki ilmunya atau kita kurang memiliki waktu bersama anak maka kita perlu mencarikan pendidikan yang terbaik untuk anak.
Jadi, jika kita memiliki harta benda lalu harta itu kita gunakan untuk kebaikan termasuk menyekolahkan anak ke pesantren, kita akan aman saat mempertanggungjawabkan dari pertanyaan untuk apa hartamu digunakan.
Selain itu, harta yang kita gunakan untuk kebaikan termasuk memasukkan anak ke pesantren akan menjadi investasi amal jariah.
Setiap anak berbuat kebaikan karena fasilitas yang kita berikan maka orang tuanya akan mendapatkan pahala yang sama persis dengan pahala yang didapat anak tanpa sedikitpun mengurangi pahala anak.[ind]