ChanelMuslim.com – Bolehkah wali yatim memakai harta anak yatim untuk kepentingan dirinya sendiri? Sering terjadi masalah seperti ini dan banyak ditanyakan. Ustaz Farid Nu’man Hasan memberikan penjelasan mengenai hal ini yaitu dengan perincian sebagai berikut.
Baca Juga: Keutamaan Menyantuni Anak Yatim
Hukum Memakai Harta Anak Yatim
Termasuk dosa besar jika memanfaatkannya secara zalim
Jika memanfaatkannya secara zalim, berlebihan, menelantarkan kepentingan anak yatim, dan menjadikannya sebagai harta pokok bagi si wali yatim. Maka, ini haram dan termasuk dosa besar.
Allah Ta’ala berfirman:
وَآتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. (QS. An Nisa: 2)
Dalam ayat lain:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (QS. An Nisa: 10)
Dalam hadits disebutkan:
«اجْتَنِبُوا السَّبْعَ المُوبِقَاتِ»، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: «الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ اليَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ المُحْصَنَاتِ المُؤْمِنَاتِ الغَافِلاَتِ
“Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah itu? Beliau bersabda, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan haq, memakan riba, makan harta anak yatim, kabur dari medan peperangan dan menuduh seorang wanita mukmin yang suci berbuat zina”. (HR. Bukhari no. 2766)
Imam As Suddi Rahimahullah -pakar tafsir masa salaf- mengatakan:
يحشر آكل مال اليتيم ظلماً يوم القيامة ولهب النار يخرج من فيه ومن مسامعه وأنفه وعينه كل من رآه يعرفه أنه آكل مال اليتيم.
Para pemakan harta anak yatim secara zalim pada hari kiamat nanti akan dikumpulkan, dan api neraka akan keluar dari mulut, telinga, hidung, dan matanya. Semua manusia yang melihatnya akan mengenalinya bahwa dia dulunya pemakan harta anak yatim.
(Dikutip oleh Imam Adz Dzahabi, Al Kabaair, hlm. 22)
Baca Juga: Siapa yang Disebut sebagai Penyantun Anak Yatim
Memanfaatkannya hanya sedikit dan bukan sebagai harta pokok kehidupannya
Wali yatim boleh memanfaatkan harta anak yatim yang dia asuh sedikit saja, tidak berlebihan, dan tidak boleh menjadikannya sebagai sumber pokok kebutuhan dirinya. Hal ini berdasarkan Al Quran dan As Sunnah.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ
Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa.
Barang siapa (di antara wali itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (QS. An Nisa: 6)
Dalam hadits sebagai berikut:
كُلْ مِنْ مَالِ يَتِيمِكَ غَيْرَ مُسْرِفٍ وَلَا مُبَادِرٍ وَلَا مُتَأَثِّلٍ
“Makanlah sebagian dari harta anak yatimmu, tetapi janganlah berlebihan, jangan tergesa-gesa (dalam menguasakan harta itu ke anak yatim), dan tidak mengambilnya sebagai harta pokok pencarian.”
(HR. Abu Daud no. 2872, An Nasa’i no. 3668. Syaikh Abdul Qadir Al Arnauth mengatakan dalam tahqiqnya terhadap kitab Jami’ Al Ushul (jilid. 11, hlm. 641), berkata: sanadnya hasan)
Dari hadits ini, ada beberapa pendapat ulama, segolongan ulama mengatakan bolehnya wali yatim memanfaatkan harta yatim walau wali yatim tersebut dalam keadaan tidak mendesak kebutuhannya.
Segolongan lain mengatakan kebolehan ini hanya berlaku bagi wali yatim yang benar-benar perlu. Ada pula yang mengatakan jika hartanya emas atau perak, maka tidak boleh, kecuali dinilai sebagai utang yang mesti dikembalikan.
Imam Abu Bakr Syatha Ad Dimyathi Rahimahullah berkata:
ليس لولي أخذ شئ من مال موليه إن كان غنيا مطلقا، فإن كان فقيرا وانقطع بسببه عن كسبه: أخذ قدر نفقته، وإذا أيسر: لم يلزمه بدل ما أخذه.
Wali yatim yang kaya, secara mutlak tidak boleh sedikit pun mengambil dari harta anak-anak asuhnya. Jika dia fakir dan kehilangan sebab-sebab mata pencahariannya: dia boleh mengambilnya sebatas kebutuhan belanja dia, dan jika dia sudah lapang maka tidak wajib baginya mengganti apa yang diambilnya itu. (I’anatuth Thalibin, jilid. 3, hlm. 88)
Baca Juga: Mendidik Anak Tiri yang Suka Melawan
Imam Asy Syaukani Rahimahullah menjelaskan secara rinci sebagai berikut:
وَقَدْ اخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فَرُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهُ يَجُوزُ لِلْوَلِيِّ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ مَالِ الْيَتِيمِ قَدْرَ عِمَالَتِهِ، وَبِهِ قَالَ عِكْرِمَةُ وَالْحَسَنُ وَغَيْرُهُمْ وَقِيلَ: لَا يَأْكُلُ مِنْهُ إلَّا عِنْدَ الْحَاجَةِ ثُمَّ اخْتَلَفُوا فَقَالَ عُبَيْدَةُ بْنُ عَمْرٍو وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ وَمُجَاهِدٌ: إذَا أَكَلَ ثُمَّ أَيْسَرَ قَضَى
وَقِيلَ: لَا يَجِبُ الْقَضَاءُ وَقِيلَ: إنْ كَانَ ذَهَبًا أَوْ فِضَّةً لَمْ يَجُزْ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا إلَّا عَلَى سَبِيلِ الْقَرْضِ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ ذَلِكَ جَازَ بِقَدْرِ الْحَاجَةِ، وَهَذَا أَصَحُّ الْأَقْوَالِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَبِهِ قَالَ الشَّعْبِيُّ وَأَبُو الْعَالِيَةِ وَغَيْرُهُمَا، أَخْرَجَ جَمِيعَ ذَلِكَ ابْنُ جَرِيرٍ فِي تَفْسِيرِهِ وَقَالَ: هُوَ
بِوُجُوبِ الْقَضَاءِ مُطْلَقًا وَانْتَصَرَ لَهُ.وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: يَأْخُذُ أَقَلَّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ أُجْرَتِهِ وَنَفَقَتِهِ، وَلَا يَجِبُ الرَّدُّ عَلَى الصَّحِيحِ عِنْدَهُ وَالظَّاهِرُ مِنْ الْآيَةِ وَالْحَدِيثِ جَوَازُ الْأَكْلِ مَعَ الْفَقْرِ بِقَدْرِ الْحَاجَةِ مِنْ غَيْرِ إسْرَافٍ وَلَا تَبْذِيرٍ وَلَا تَأَثُّلٍ، وَالْإِذْنُ بِالْأَكْلِ يَدُلُّ إطْلَاقُهُ عَلَى عَدَمِ وُجُوبِ الرَّدِّ عِنْدَ التَّمَكُّنِ، وَمَنْ ادَّعَى الْوُجُوبَ فَعَلَيْهِ الدَّلِيلُ.
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Diriwayatkan dari Aisyah bahwa boleh bagi wali yatim mengambil harta anak yatim sebatas pekerjaannya. Inilah pendapat ‘Ikrimah, Al Hasan, dan lainnya.
Dikatakan bahwa tidak boleh memakannya kecuali saat ada kebutuhan saja. Lalu mereka berbeda pendapat, Ubaidah bin Amru, Said bin Jubeir, dan Mujahid berkata: “Jika dia memakan harta anak yatim lalu dia mendapatkan kemudahan, maka hendaknya dia ganti.” Dikatakan: “Tidak wajib ganti.”
Dikatakan pula: “Jika hartanya emas dan perak, maka tidak boleh baginya mengambil harta itu kecuali dengan cara berutang. Jika tidak begitu, boleh memanfaatkannya sebatas kebutuhannya.” Inilah pendapat yang lebih shahih dari berbagai pendapat dari Ibnu Abbas, inilah pendapatnya Asy Sya’bi, Abul ‘Aliyah, dan selain keduanya. Semua ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya. Dia (Ibnu Jarir) berkata: “Dia wajib menggantinya secara mutlak dan memberikan bantuan baginya.”
Imam Asy Syafi’i berkata: “Boleh mengambil lebih sedikit dari upah dan nafkahnya,” dan tidak wajib mengembalikannya menurut pendapat yang shahih baginya (Asy Syafi’i).
Pendapat yang benar menurut zahir ayat dan hadits adalah bolehnya memakan harta anak yatim jika wali yatim fakir, sebatas hajatnya saja tanpa berlebihan, tidak mubadzir, dan tidak menjadikan itu sebagai harta pokok baginya.
Adanya izin memakannya menunjukkan bahwa secara mutlak tidak wajibnya mengembalikan harta itu walau dia mampu, siapa yang mengklaim wajib mengembalikan maka dia harus menunjukkan dalil.
(Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, jilid. 5, hlm. 300)
Demikian. Wallahu a’lam. Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa’ ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam. [ind]