ChanelMuslim.com – Orangtua kini menghancurkan anak secara halus. Ada seorang Operation Manager dari client kantor saya yang cool banget. Kita undang dia makan siang dan nasinya keras.
Kita sebagai vendor yang baik, meminta maaf. Dia bilang, “Enggak apa-apa. Justru saya suka nasi keras. Enggak suka tuh saya, beras sushi.”
“Kok sukanya nasi yang keras Pak?” I cannot help but to ask.
“Iya, orang tua saya ngajarin jangan pernah buang makanan. Nasi kemarin juga kita makan.”
This may be simple. But this blew my mind.
Dan setelah saya menjadi orangtua, di sinilah saya lihat banyak orangtua mulai mengambil langkah yang tidak disadari, berdampak.
Baca Juga: Waspada, Ini 12 Sikap Buruk Orang Tua yang Bisa Hancurkan Proses Pendidikan Anak
Menghancurkan Anak dengan Memanjakan
“Saya waktu kecil, miskin. Saya pastikan anak-anak saya mendapatkan yang terbaik, termahal.”
“Waktu kecil, saya makan aja susah. Saya pastikan mereka itu sekarang makan enak.”
“Waktu kecil, saya belajar ditemani lilin dan 2 buku. Sekarang anak saya, saya sekolahkan ke Inggris.”
We experienced the worst and therefore we tend to give the best.
The question is, is the best…is what our children need? Really?
Orang sukses itu menjadi sukses karena:
(1) dididik dengan benar, terlepas dari dari apakah dia kaya atau miskin
(2) dididik oleh kesulitan yang dia hadapi.
Kita akui ada anak orang kaya yang tetap jempolan attitude-nya dan perjuangannya. Tapi kita lihat kebanyakan orang sukses juga dulunya sulit.
Kesulitan (dalam beberapa kasus, kemiskinan) itu yang menjadi drive orang-orang untuk menjadi sukses. Ini adalah resep yang nyata.
Kesulitan yang orang-orang sukses ini hadapi adalah ladang ujian di mana mereka menempa diri mereka menjadi orang sukses.
Pertanyaannya, jika kita ingin mencetak anak-anak yang bermental baja, kenapa kita justru memberikan semua kemudahan? Kenapa justru kita hilangkan semua kesulitan itu?
Karena dengan menghilangkan kesulitan-kesulitan itu, justru kita menciptakan generasi yang syarat hidupnya banyak.
Baca Juga: Mendidik Anak Menyenangkan di Era 4.0
Generasi Berikutnya
Apa yang terjadi dengan dari hasil thinking frame ‘dulu saya susah, saya tidak ingin anak saya susah’? Ini yang terjadi:
Anak dari teman ibu saya terbiasa makan beras impor thailand. Di 98, kita terkena krisis dan orang tuanya tdiak lagi mampu beli beras impor. Yang terjadi adalah, anaknya enggak bisa makan.
Ada anak dari teman yang terbiasa makan es krim haagen dasz, ketika pertama kali makan es krim lokal, dia muntah.
Ada cucu yang ngamuk di rumah neneknya karena di rumah nenek, enggak ada air panas.
Saya tidak mencibir mereka. Apa adanya seorang manusia itu terjadi dari nature dan nurture. Semua ini, adalah nurture.
Bahkan di kantor pun sama. Di kantor kebetulan saya jadi mentor seseorang (saat ini). Dalam sebuah kesempatan, dia pernah berkata “Duh, enggak nyaman di posisi ini.”
Di lain kesempatan, “Sayang ya, si X resign, padahal dia membuat saya nyaman di kantor sini.”
Pada kali kedua saya mendengar temen saya ngomong ini, saya mulai masuk, “Kamu sadar enggak, kamu sudah 2 kali menggarisbawahi bahwa kenyamanan dalam kerja itu, penting bagi kamu.”
“Memang sih idealnya nyaman. Tapi sayangnya, this is life. We don’t get to pick ideal situations. Sometimes we need to settle with what we have and deal with it.”
“Tentang kenyamanan, coba jadikan itu sebagai sesuatu yang ‘nice to have’ dan bukan “must have”.
What to Do?
Saya menyukai cara Sultan Jogja mendidik anak-anaknya. Saya pernah dengar bahwa pada saat balita, anak sultan dikirim untuk hidup di desa. Makan susah, main tanah, mandi di sumur.
Intinya, meski dia anak sultan, dia tidak tahu bahwa dia anak sultan dan dia merasakan standar hidup yang rendah – dan merasa cukup dengan itu. Setelah agak besar, dia kembali ke istana.
Dampaknya, semua Sultan, bersikap merakyat. Dia makan steak, tapi dia tahu bahwa steak yang dia makan adalah sebuah kemewahan. Bukan sebuah syarat hidup minimum.
Saya pun memiliki syarat-syarat hidup. Semenjak menjadi seorang bapak, saya berubah total dan saya kikis hilang itu semua. Karena saya tidak ingin anak-anak saya memiliki syarat hidup yang banyak.
Dan satu-satunya cara memastikan itu terjadi adalah bahwa saya pun tidak boleh memiliki syarat hidup banyak.[ind]
sumber: Great Parenting