ChanelMuslim.com – Persiapan Ramadan itu bukan di supermarket. Bulan Ramadan itu bulan ibadah. Bulan puasa. Bulan Al-Qur’an. Bulan qiyamul lail. Bulan sedekah. Dan, bukan bulan makan-makan.
Ada sisi lain dari bulan Ramadan yang kadang jauh lebih kuat dari sebagai bulan ibadah. Yaitu, bulan yang dipersepsikan sebagai ajang menu makanan dan minuman.
Hal ini mungkin wajar. Karena umumnya orang memahami bulan Ramadan sebagai bulan yang tidak makan dan minum di siang hari. Kata makan dan minum inilah yang akhirnya menjadi lebih dominan dari bulan Ramadan.
Baca Juga: Lima Persiapan Ramadan
Seolah kalau tidak memperhatikan unsur makan dan minum ini, bulan Ramadan bisa begitu menyiksa. Bisa membuat badan kurus kering. Bisa menjadikan tubuh sakit-sakitan. Dan lainnya.
Perhatikanlah gencarnya ragam iklan saat menjelang Ramadan. Selalu yang dibidik adalah makan dan minum.
Aneka tayangan jenis makanan dan minuman nyaris selalu tampil setiap saat. Dan tayangan tersebut dikesankan sebagai kelaziman Ramadan.
Perhatikan pula dua pekan menjelang Ramadan. Ada dua tempat yang begitu ramai. Selain makam untuk ziarah, tempat yang selalu begitu favorit adalah supermarket.
Di tempat ini, antrian kasir bisa begitu panjang.
Apa yang mereka kejar di tempat serba ada itu? Apalagi kalau bukan aneka jenis makanan dan minuman. Seolah iklan sukses membimbing mereka ke jalan yang “lurus”.
Selama masih ada uang, silakan borong makanan dan minuman. Karena, bulan puasa sudah di depan mata. Bulan yang rasa laparnya luar biasa. Bulan yang rasa hausnya tak terkira.
Ayo, siapkan makanan dan minuman sebanyak-banyaknya, agar lapar dan haus Anda bisa terobati.
Kesenjangan Tujuan dan Persiapan Ramadan
Persepsi tentang Ramadan seperti itu akhirnya melunturkan tujuan datangnya Ramadan. Padahal, Ramadan bukan datang untuk program relaksasi perut.
Bukan pula sebagai ajang menu dan gizi. Melainkan, sebagai bulan ibadah.
Lalu, di mana bulan ibadahnya kalau yang dipersiapkan justru soal makan dan minum. Kalau sebagai bulan ibadah, yang patut disiapkan adalah ruhani,
bersih-bersih diri dan lingkungan, perlengkapan shalat dan mushaf, kebersihan ruangan shalat, kamar mandi, serta pembiasaan puasa dan ringan kaki menuju masjid.
Pertanyaannya, kenapa bisa terjadi kesenjangan itu? Inilah yang baiknya menjadi renungan bersama semua keluarga.
Bagaimana mungkin Ramadan yang diajarkan sebagai panen pahala, lomba kebaikan, dan pensucian jiwa; bisa terbungkus kuat menjadi bulan makanan dan minuman.
Sebenarnya, ada rasa kontradiksi antara Ramadan sebagai bulan puasa dan ibadah dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat. Yang namanya bulan puasa mestinya mengecilkan anggaran rumah tangga.
Tapi kenyataannya, sudah menjadi rahasia umum bahwa bulan Ramadan sebagai bulan paling boros anggaran. Peningkatannya bahkan bisa tiga kali lipat dari bulan biasanya.
Dampaknya, para pimpinan keluarga energinya jadi lebih terkuras ke soal materi. Bukan lagi soal ruhani dan semangat ibadah. Ah, betapa rendahnya Ramadan kalau berujung seperti itu.
Baca Juga: Persiapan Ruhani Menuju Ramadan
Benahi Sindrom Perut Lapar
Puasa itu tidak membuat tubuh menjadi sakit. Sebaliknya, justru menjadi sehat. Karena dengan puasa, ada proses alami detoks atau pembersihan tubuh dari segala racun yang mengendap.
Puasa yang baik juga membersihkan lemak tubuh yang berpotensi menjadi bahaya.
Jika puasa dijalankan secara benar, semua itu akan menjadi berkah buat kesehatan tubuh. Bukan sebaliknya. Seolah-olah, puasa sebagai perubahan jadwal makan dan minum. Yang tadinya dilakukan siang hari, diubah menjadi malam hari.
Porsinya sama sekali tidak dikurangi. Bahkan ditambah. Karena esok paginya kita akan merasa lapar lagi. Jadi, mumpung masih malam, penuhi perut kita sepenuh-penuhnya.
Dan isi dengan aneka minuman sebanyak-banyaknya.
Apa yang akan terjadi? Puasa seperti ini akan menjadikan orang hanya mampu stabil pada kurang lebih tujuh hari saja. Jangankan semangat ibadah yang berlipat-lipat, untuk aktivitas rutin saja sudah mengendur.
Yang muncul adalah semangat tidur yang begitu konsisten.
Setelah tujuh hari, masjid dan mushola akan kembali normal seperti biasa. Tidak lagi luber saat di hari pertama dan kedua. Mushaf Al-Qur’an pun sudah kembali ke “sarang”nya.
Pekan-pekan berikutnya lagi-lagi soal materi. Bukan lagi makanan dan minuman, melainkan belanja fashion untuk Lebaran.
Kalau Ramadan selalu seperti ini, di mana panen pahalanya. Di mana pensucian jiwanya. Di mana berkah sehatnya. Dan di mana sensitivitas empatinya untuk fakir dan miskin.
Ahlan wasahlan Ya Ramadan. Selamat datang bulan mulia. Bulan agung yang menyediakan aneka pahala. Bulan ampunan untuk segala dosa. Dan bulan untuk berlatih seolah kita tidak lagi hidup di dunia. [Mh]