Terdapat persyaratan tumbuhan untuk obat tradisional yang harus sesuai standar Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Tumbuhan haruslah memenuhi berbagai macam persyaratan agar pelaksanaan uji klinis dapat dilakukan. Direktur Standardisasi Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik (OTSKK) Drs. Tepy Usia, APT., M.Phil, PHD menjelaskan apa saja yang harus diketahui dari pelaksanaan uji klinik obat bahan alam ini.
Baca Juga: BPOM: Kenali Label Makanan Pada Kemasan
Persyaratan Penggunaan Tumbuhan untuk Obat Tradisional Sesuai Standar BPOM
Hal-hal yang harus diperhatikan dari tumbuhan adalah adanya kebenaran identitas dari tumbuhan yang digunakan.
Tumbuhan tidak termasuk dalam daftar bahan dilarang digunakan dalam obat tradisional sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, serta riwayat penggunaan harus dapat ditelusuri.
Selain itu, harus dilihat juga bagian tumbuhan mana yang digunakan. Melihat kondisi pandemi yang terjadi sekarang ini, Tepy memberi informasi terkait uji klinik pada kondisi khusus.
Dalam kondisi tersebut, dapat dibuat aturan khusus untuk percepatan penelitian dengan tidak meninggalkan kaidah ilmiah, kaidah etis, dan keselamatan masyarakat.
Tepy juga menyampaikan perihal bagaimana pendampingan uji klinik oleh BPOM. Dalam presentasinya, dijelaskan bahwa pendampingan uji klinik baru dilakukan terhadap protokol yang telah final dan sudah ditandatangani oleh peneliti utama, dan sponsor.
Pendampingan ditujukan untuk mengkaji aspek ilmiah, aspek etis, dan aspek mampu melaksanakan protokol uji klinik.
Selain itu, pendampingan juga dilakukan dalam bentuk inspeksi sebelum, pada saat, dan setelah pelaksanaan uji klinik dengan tujuan untuk memastikan uji klinik dilakukan sesuai protokol dan prinsip CUKB agar didapatkan hasil yang terbaik.
Menurut Tepy, pelaksanaan uji klinik harus berpedoman pada prinsip-prinsip Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB). CUKB adalah suatu standar kualitas etis dan ilmiah internasional untuk mendesain, melaksanakan, mencatat, dan melaporkan uji klinik yang melibatkan partisipasi subjek manusia.
Tidak boleh melakukan tindakan prosedur uji klinik apapun sebelum calon subjek mendapatkan penjelasan mengenai uji klinik dan menyatakan persetujuan dengan menandatangani lembar informed consent.
Tepy menjelaskan secara detail dari tahap awal sampai ke laporan akhir penelitian.
Uji klinik yang dilakukan di Indonesia dalam rangka pengembangan produk yang akan dipasarkan, menurut Tepy, harus meminta persetujuan pelaksanaan uji klinik kepada BPOM.
Namun, berbeda apabila penelitian dilakukan dalam rangka pendidikan dan tidak berniat untuk dikomersialkan.
Apabila dimaksudkan dalam rangka pendidikan, hal itu tidak harus dimintakan persetujuan BPOM. Namun, kalau memang penelitiannya bagus, nantinya bisa dikomersialkan dengan meminta persetujuan BPOM terlebih dahulu. [Cms]