Oleh: Tjahja Gunawan
(Penulis Wartawan Senior)
Tetangga saya di kawasan Perumahan Bumi Serpong Damai (BSD) dikenal oleh masyarakat sekitar sebagai “mitra polisi”. Oleh karena itu dia berusaha untuk bisa dekat dengan masyarakat termasuk jemaah mesjid.
Pekerjaan sehari-hari sang Mitra Polisi ini sebagai pemborong bangunan atau developer. Suatu waktu dia membawa rombongan polisi berseragam ke masjid. Katanya, untuk silaturahmi sekaligus patroli. Selang beberapa hari kemudian, sang mitra polisi ini malah membawa Kepala Polres Tangsel ke salah satu masjid di BSD untuk “berceramah” soal Kamtibmas.
Rupanya ada maksud tertentu dibalik ceramah sang Kapolres. Beberapa hari setelah usai ceramah, sejumlah polisi di Polres Tangsel sibuk mendatangi masjid-masjid di Kompleks Perumahan BSD sambil membawa spanduk. Tulisan dalam spanduk itu berbunyi: Masjid Tidak Boleh Digunakan Untuk Kampanye, Issue, Hoax, SARA, dan Radikalisme Pada Pemilu Tahun 2019.
Kontan saja pemasangan spanduk ini mengundang protes para jamaah. Kemudian Forum Masjid dan Musholla BSD (FMMB) yang beranggotakan para pengurus dari 72 mesjid di BSD dan sekitarnya, menyatakan menolak pemasangan spanduk itu.
“Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba di masjid mau dipasang spanduk dengan isi tulisan seperti itu,” kata seorang Ketua Yayasan salah satu mesjid di BSD yang menolak pemasangan spanduk.
Tulisan yang tertera dalam spanduk tersebut dinilai para pengurus masjid, justru bisa menimbulkan keresahan diantara jamaah masjid. Selama ini para jamaah sudah aman dan tenang menjalankan ibadahnya di mesjid di kawasan BSD.
Begitulah antara lain kondisi hubungan polisi dengan masyarakat sekarang ini. Kalau saja polisi bisa menjalankan fungsi utamanya melindungi, melayani dan mengayomi masyarakat, hubungan dengan warga bisa berjalan harmonis. Sebaliknya jika relasi polisi dengan warga bersifat satu arah seperti selama ini, jangan berharap terjalin hubungan yang erat.
Dari kejadian itu, wajar jika hari-hari terakhir ini masyarakat meragukan soal netralitas polisi dalam pemilu. Banyak contoh dimana sebagian anggota polisi telah menjadi alat kekuasaan. Polisi yang seharusnya bisa berperan sebagai wasit yang netral dalam pemilu, namun dalam kenyataannya justru ikut “bermain” di lapangan.
Kendati demikian, sebenarnya masih banyak juga polisi yang berusaha menjalankan tugasnya secara profesional, tidak tergiur dengan janji-janji kenaikan pangkat kalau mereka mengerjakan pekerjaan yang bertentangan dengan tupoksi polisi.
Pengakuan mantan Kepala Polsek Pasirwangi, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Ajun Komisaris Sulman Aziz yang diperintah Kapolres Garut menggalang dukungan kepada Paslon nomor urut 01, Jokowi-Maruf Amin, menunjukkan adanya ketidaknetralan polisi dalam Pemilu 2019.
Meskipun pernyataan Sulman Aziz dicabut setelah diperiksa Propam Polda Jabar, namun masyarakat sudah telanjur percaya dengan pengakuan awal Sulman.
Lembaga kepolisian sebagai lembaga yang harus netral dalam Pemilu diduga ikut memenangkan pasangan capres Jokowi-Ma’ruf Amin.
Dugaan ketidaknetralan polisi juga diungkapkan Haris Azhar, selaku Koordinator Lokataru. Haris menerima informasi adanya para kepala desa yang dikumpulkan di kantor Polsek untuk mendukung pasangan 01 Jokowi-Maruf.
“Kami kira, informasi ini tidak main-main dan tentu saja bisa dibuktikan kalau semua itu benar adanya,” ujar Haris.
Sudah terlalu banyak informasi yang mengungkap pasukan berpakaian coklat ini tidak netral dalam Pemilu 2019.
Ketidaknetralan itu sulit untuk dibantah meski petinggi Polri berulang-ulang menyatakan bahwa Polisi netral.
Haris Azhar juga menerima informasi adanya anggota polisi baik di tingkat Polres dan Polsek yang melakukan pendataan atau survey ke masyarakat. Itu dilakukan untuk mengetahui warga yang didatangi itu mendukung pasangan capres, apakah ke 01 atau 02 dengan terlebih dulu menjelaskan keberhasilan pemerintah Jokowi dalam pembangunan, penegakan hukum dan seterusnya. Hal itu diduga sebagai upaya untuk mempengaruhi masyarakat untuk memilih kembali Jokowi sebagai presiden.
Kasus lain, di Kota Batu Jawa Timur, warga menyaksikan petugas kepolisian ikut memasang dan mengamankan alat peraga kampanye (APK) seorang artis ibukota yang nyaleg dari sebuah partai pendukung pemerintah.
Di Medan, Sumatera Utara sejumlah kepala lingkungan (RT/RW) memasang APK Paslon 01. Mereka mengaku disuruh anggota Polri. Kapolda Sumut Irjen Pol Agus Andrianto juga mengeluarkan pernyataan yang berindikasi sangat tidak netral.
Dia marah besar ketika terjadi keributan dalam tabligh akbar di Tebing Tinggi yang melibatkan anggota FPI.
“Mereka belum berkuasa saja sudah begini. Apalagi kalau mereka sudah berkuasa. Makanya jangan salah pilih, nanti menyesal,” tegas Agus Andrianto.
Dalam sebuah video yang beredar luas, seorang anggota berseragam Polri terlihat mengarahkan warga meneriakkan yel-yel “Jokowi Yes!”
Masih banyak bukti-bukti lain bahwa anggota Polri terlibat langsung dalam pemenangan inkumben. Menanggapi kasus-kasus tersebut, Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol Muhammad Iqbal mengakui ada beberapa anggota Polri yang diperiksa Divisi Propam. Kasusnya antara lain di Polda Sulsel, dan Sumsel.
Secara kelembagaan, Polri juga diduga memfasilitasi dan memobilisasi massa untuk Paslon 01. Yang paling kasat mata adalah penyelenggaraan Millenial Safety Road Festival.
Acara Ajang kampanye keamanan berkendara di kalangan anak-anak muda itu digelar di kota-kota besar di seluruh Indonesia. Yang menjadi ikon adalah Presiden Jokowi. Hal itu terlihat dalam baliho dan poster yang disebar sangat massif sampai kota-kota kabupaten. Namun, akhirnya kegiatan Millenial Safety Road Festival ini dihentikan sementara.
Berbagai peristiwa dan fakta ketidaknetralan Polisi ini, seolah bertentangan dengan telegram rahasia berupa Surat Edaran (SE) Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengenai netralitas anggota Polri.
Isi SE Kapolri ini melarang anggota Polri untuk menggunakan, memasang, atau menyuruh orang lain untuk memasang atribut pemilu. Anggota Polri juga
dilarang berfoto atau selfie di medsos dengan gaya mengacungkan jari telunjuk, jari jempol, maupun jari membentuk huruf V yang berpotensi digunakan oleh pihak tertentu untuk menuding keberpihakan atau ketidaknetralan Polri.
Anggota Polri juga dilarang untuk menghadiri, menjadi pembicara atau narasumber pada kegiatan deklarasi, rapat, kampanye, pertemuan politik, kecuali melaksanakan pengamanan yang didasari oleh surat perintah tugas.
Personel juga diminta untuk menghindari tindakan kontra produktif dan tetap menjaga kepercayaan masyarakat kepada Polri dalam menjaga dan mengawal berlangsungnya Pemilu 2019 yang aman, sejuk, dan sukses.
Hindari pelanggaran anggota sekecil apapun yang dapat berdampak pada penurunan citra Polri.Tingkatkan kewaspadaan dan kesiap-siagaan anggota di lapangan.
Hampir semua larangan dalam surat edaran itu sebenarnya menjawab keresahan masyarakat. Tapi mengapa masyarakat masih belum percaya dengan netralitas polisi?
Dulu di Aksi 411 (Aksi Bela Islam 4 November 2016) perintah Kapolri Jend Tito Karnavian untuk menghentikan tembakan gas air mata tidak diindahkan oleh bawahannya.
Sekarang telegram rahasia tentang SE Kapolri soal netralitas Polri juga diragukan bisa diikuti oleh jajaran anggota kepolisian dari atas sampai bawah. Apakah ada “Matahari Kembar” di Kepolisian RI? Wallahu’alam.[ind]