Chanelmuslim.com – Faktanya, Abdullah bin Zubair diangkat menjadi pemimpin kaum muslimin, dengan menjadikan Mekah al-Mukarramah sebagai ibukota pemerintahan. Kekuasaannya meliputi Hijaz, Yaman, Bashrah, Kufah, Khurasan, dan wilayah Syam, kecuali Damaskus. Semua penduduk wilayah tersebut lebih memilih Abdullah bin Zubair sebagai khalifah mereka.
Akan tetapi, orang-orang bani Umayah tidak senang dengan kondisi ini. Mereka terus melancarkan serangan ke wilayah kekuasaan Abdullah, meskipun selalu gagal.
Baca Juga: Pribadi Memukau Abdullah bin Abbas
Abdullah bin Zubair Bertahan Hingga Menggapai Syahid
Hingga akhirnya datanglah masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan. Untuk menyerang Abdullah di Mekah, ia memilih manusia paling kejam di dunia, yaitu Hajjaj bin Yususf ats-Tsaqafi.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah berkata tentang Hajjaj, “Seandainya setiap umat membawa kesalahan mereka, sedangkan kita membawa Hajjaj, maka kesalahan kita lebih berat daripada kesalahan mereka semua.
Hajjaj berangkat dengan pasukan dan para tentara bayaran untuk menyerbu Mekah, ibukota pemerintahan Abdullah bin Zubair. Mereka mengepung kota Mekah selama enam bulan. Penduduk Mekah tidak bisa mendapatkan makanan dan air dari luar Mekah. Hajjaj melakukan tindakan ini untuk memaksa mereka meninggalkan Abdullah bin Zubair sendirian.
Di bawah tekanan kelaparan yang luar biasa itu, banyak para penduduk Mekah yang menyerahkan diri. Akhirnya, Abdullah tinggal sendirian atau hampir sendirian. Meskipun sebetulnya peluang untuk selamat masih terbuka, tetapi ia memutuskan untuk memikul tanggung jawab ini sampai titik darah penghabisan. la terus menghadapi serangan tentara Hajjaj dengan keberanian yang tidak dapat dilukiskan, padahal saat itu ia berusia 70 tahun.
Kita tidak akan bisa mengetahui gambaran sesungguhnya terhadap sikap luar biasa ini kecuali jika kita dengarkan dialog yang berlangsung antara Abdullah dan ibunya.
la menemui ibunya dan menjelaskan secara rinci tentang sikapnya dan kesudahan yang akan terjadi.
Asma’ (sang ibu) berkaca, “Anakku, kamu lebih tahu tentang dirimu. Jika kamu yakin berada di pihak yang benar dan menyeru kepada kebenaran, maka tetap teguhlah meskipun kamu harus membayarnya dengan kematian. Jangan biarkan budak-budak bani Umaiyah itu memperdayamu.
Namun, jika kamu hanya menginginkan dunia, maka kamulah hamba terburuk. Kamu telah mencelakakan dirimu dan mencelakakan orang-orang yang mati bersamamu.”
Abdullah berkata, ‘Bunda, demi Allah, aku tidak menginginkan dunia. Aku tidak menyelewengkan, menzalimi atau mengkhianati hukum Allah. ”
Asma’ berkata, “Jika kamu mendahuluiku menghadap Allah, semoga belasungkawaku menjadi belasungkawa yang baik. Atau, aku mendahuluimu menghadap Allah… Ya Allah, berikan rahmat kepadanya, atas ibadahnya di malam hari, puasanya di siang hari, dan baktinya kepada ayah dan ibunya. Ya Allah, aku serahkan dirinya kepada- Mu. Aku ridha atas keputusan-Mu dan berikan pahala kepadaku atas apa yang telah dilakukan Abdullah bin Zubair seperti pahala yang Engkau berikan kepada orang- orang yang sabar dan orang-orang yang bersyukur.”
Kemudian keduanya berpelukan dan mengucapkan salam perpisahan.
Beberapa saat kemudian, Abdullah bin Zubair terlibat dalam pertempuran sengit. yang tak seimbang. Pertempuran yang mengantarkannya sebagai syahid mulia. Hajjaj yang memang kejam itu, belum merasa puas sebelum menyalib tubuh yang sudah kaku itu.
Asma’ yang saat itu berusia 97 tahun keluar rumah untuk melihat anaknya yang tersalib. la berdiri tak bergerak bagai gunung kokoh yang menjulang, menatap jasad anaknya. Hajjaj datang menghampirinya dengan lemah lembut dan merendah. la berkata, “Wahai Ibu, Khalifah Abdul Malik bin Marwan berpesan agar aku memperlakukanmu dengan baik. Adakah sesuatu yang Ibu butuhkan?”
Asma’ menjawab dengan lantang, “Aku bukan ibumu. Aku adalah ibu orang yang tersalib di tiang ini. Aku sama sekali tidak butuh kepada kalian. Hanya saja aku ingin mengatakan kepadamu sabda Rasulullah yang pernah kudengar langsung dari beliau, ‘Akan muncul dari pembohong dan seorang durjana. Adapun si pembohong telah sama-sama kita ketahui. Adapun si durjana, yang kutahu adalah kamu.”
Abdullah bin Umar datang mengucapkan belasungkawa dan memintanya bersabar. Asma’ menjawab, “Tidak ada alasan bagiku untuk tidak bersabar karena sebelum ini, kepala Nabi Yahya bin Zakariya telah diserahkan kepada si durjana dari bani Israel.”
Sungguh mulia, engkau wahai putri Abu Bakar ash-Shiddiq.
Adakah kata-kata yang lebih indah dari kata-kata ini yang pantas diucapkan kepada mereka yang telah memenggal kepala Abdullah bin Zubair lalu menyalib tubuhnya?!
Jika kepala Abdullah bin Zubair telah diserahkan kepada Hajjaj dan Abdul Malik, maka sebelumnya, kepala Nabi Yahya as. juga telah diserahkan kepada Salome, si durjana dari bani Israel. Sungguh, satu persamaan yang sangat tepat.
Jadi, wajar sekali jika Abdullah mencapai derajat kepahlawanan dan kebaikan begitu tinggi, karena ia lahir dari rahim dan menyusu dari seorang ibu yang begitu mulia.
Salam sejahtera untuk Abdullah.
Salam sejahtera untuk Asma’.
Salam sejahtera untuk mereka berdua yang berada dalam barisan para syuhada mulia.
Salam sejahtera untuk mereka berdua yang berada dalam barisan orang-orang shalih dan bertakwa.
Sungguh Abdullah bin Zubair memiliki akhlak dan sifat baiknya tidak tergoyahkan bagai gunung. []
Sumber : Biografi 60 Sahabat Nabi, Penerbit Al Ithishom