ChanelMuslim.com – Travelogue, Life in Pakistani Village ini ditulis oleh Millana, seorang WNI yang bermukim di Lahore, Pakistan. Dalam perjalanan pulang dari Mianwali ke Lahore, kami singgah di desa saudara perempuan nenek buyut suami di daerah Quaidabad. Beliau, alhamdulilah masih hidup, berusia lebih dari 90 tahun.
Saat melihat kedatangan kami, beliau menangis tersedu-sedu. Dia teringat dengan amarhumah ibu (mertua) yang belum lama meninggal dunia.
Kami juga ikut terharu dan dapat merasakan kesedihan yang dia tanggung. Menyaksikan satu persatu sanak keluarga meninggal dunia, menyaksikan naik turunnya ritme kehidupan keluarga dan sekitarnya.
Dia katakan, dia sudah cukup melihat dunia. Dia masih menunggu kapan gilirannya tiba.
Aku melihat sekeliling. Ternyata memang sudah banyak perubahan. Pertama kali aku berkunjung ke desa ini di tahun 2009, belum ada listrik masuk desa dan belum ada kamar mandi.
Aku masih ingat betul ketidaknyamanan yang kurasakan saat itu, terlebih dalam kondisi hamil di musim panas Pakistan yang sangat menyengat.
Suami bilang, salah satu sepupunya di desa ini yang mendapat pekerjaan di Angkatan Udara berusaha membujuk sang ayah–yang juga paman dari suamiku–untuk berjuang mendapat pasokan listrik dari pemerintah. Mereka pun akhirnya berhasil mendapatkan akses listrik.
Kemudian si anak membelikan TV. Sejak saat itu, ayahnya menjadi kecanduan TV drama seri hampir setiap hari, bahkan hingga terbawa mimpi kekesalannya terhadap tokoh antagonis wanita. Itulah drama tv, drama kehidupan.
Di rumahnya berjajar enam ruangan yang ditinggali tiga keluarga. Dapur ada dua, di dalam rumah dan di luar rumah. Saat musim panas mereka memasak di luar rumah.
Sebaliknya, saat musim dingin, mereka memasak di dalam rumah. Perkakas dapur juga sederhana. Tidak menggunakan gas, tidak juga kayu bakar. Tetapi menggunakan sumber bahan bakar biomass yang berasal dari sisa kotoran ternak.
Baca Juga: Bocah 4 Tahun Pakistan Buat Sejarah Ssebagai Orang Termuda dengan Lengan Bionik
Travelogue, Life in Pakistani Village
Kotoran ternak sapi, unta, kerbau, domba dikeringkan di dinding dan atap rumah. Lalu digunakan sebagai bahan bakar pengganti kayu. Menurut para ilmuwan, sumber bahan bakar ini lebih efektif dan cepat daripada kayu bakar.
Aku mendengar suara bayi menangis. Ketika masuk ke dalamnya, ruangan ini ternyata hanya berisi dua tempat tidur anyaman bambu, atau disebut charpai dan beralaskan lantai tanah pasir.
Langit-langit beratapkan kayu yang saling bersilang.
Di antara teralis kayu-kayu itu terlihat beberapa burung menetap dan terkadang terbang ke sana kemari di dalam ruangan, dengan bayi berusia dua bulan yang masih menangis menunggu sang ibu menyusuinya.
Di ruangan lain yang tampak lebih rapi adalah ruang tamu. Sofa warna-warni, alas lantai semen dan pernak-pernik perkakas rumah tangga terpampang di dinding: seperti satu set piring, hot pot, cangkir, ketel air, dan lain-lain.
Sudah menjadi adat tradisional rumah di Pakistan, mereka akan memajang perkakas jehez (harta bawaan/hantaran pengantin wanita) di ruang tamu mereka.
Di pekarangan terdapat beberapa kandang hewan. Anak domba dan anak kambing ada di tengah halaman. Kerbau ada di sisi kiri dekat kamar mandi.
Tak jauh darinya, berdiri pompa air dan kolam air untuk minum hewan ternak. Tempat unta ada di sebelahnya. Di tembok belakang, tampak kotoran hewan yang sedang dikeringkan.
Ketika unta tiba dari padang rumput, anak-anakku melonjak gembira dan mencoba merasakan pengalaman menyentuh unta dari dekat. Mereka masih belum berani menungganginya.
Tak lama kemudian, sepupu mereka yang sebaya, Kamran, tiba. Dia mengajak anak-anak bermain bersama. Mengejar ayam, mengejar kambing ke sana ke mari.
Ada anak kambing yang lucu dan baru berusia dua bulan. Kamran mempertunjukkan atraksi sirkusnya. Dia melakukan beberapa trik untuk membuat si anak kambing berdiri dan berjalan dengan kedua kaki.
Aku dan anak-anak gembira menyaksikan pemandangan yang tak biasa ini.
Tak lama kemudian, datang bibi dan menantu perempuan keluarga ini bersama rombongan sapi, kerbau dan domba. Uniknya, kedatangan mereka juga disambut oleh suara para anak-anak sapi, kambing dan domba dari dalam kandang. Mereka tahu ibu mereka telah kembali pulang, maka saatnya menyusui tiba. Aku tertawa geli melihat satu anak sapi yang memaksa ibunya untuk menyusui sambil berjalan. Rupanya, mereka sudah tak sabaran.
Kamran juga membawa anak-anak ke sawah, ladang, dan padang rumput. Menikmati alam bebas lepas, menghirup udara segar dan menikmati senandung suara para hewan ternak dan binatang lainnya. Dunia yang ramai.
Sejenak, kami seakan terlupa bahwa dunia kami masih terkungkung oleh pandemi korona.
Saat pulang, anak-anakku bertanya, “Kapan kita akan kembali berkunjung ke desa ini?”
Allah knows.
Lahore, 27 Januari 2021.[ind]
Penulis: A housewife and a homeschooler who likes creative writing and travelling, living in Pakistan. Penulis dapat dijumpai di: IG/ anadhani313 dan milana313.wordpress.com