YANG nyata dan yang semu selalu hadir di setiap hidup kita. Sayangnya, tak semua orang memahami betul, mana yang nyata dan mana yang semu.
Dunia dan akhirat seperti dua sisi yang sering tertukar. Yang nyata terlihat semu, dan sebaliknya: yang semu terlihat begitu nyata.
Ketika seseorang bersedekah, apa yang terpikir pada umumnya: sebagian uangnya telah berkurang. Karena, telah disedekahkan. Syukurnya, sisa uangnya masih banyak.
Ada dua sisi tentang yang nyata dan semu di momen itu. Yaitu, seolah nyata adalah uangnya yang masih sisa banyak. Dan yang semu adalah uangnya yang berkurang karena telah disedekahkan.
Dalam paradigma inilah, sangat wajar jika orang bersedekah dengan jumlah yang sangat sedikit. Karena ia menganggap bahwa yang nyata adalah apa yang saat ini ia punya. Dan yang disedekahkan menjadi hal semu yang tak lagi ia pedulikan.
Padahal menurut pandangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Harta miliknya yang nyata adalah yang telah ia sedekahkan. Sementara sisanya adalah yang semu, yang tak lama lagi akan menjadi milik orang lain.
Paradigma inilah yang dimiliki sahabat mulia Nabi yang bernama Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu. Ketika Nabi membutuhkan dana besar dalam perjuangan Islam, Abdurrahman bin Auf selalu menyisakan harta untuk hidupnya dalam jumlah yang sedikit. Sebuah kebalikan seperti yang kita pahami.
Episod yang lain adalah tentang ibadah. Nabi menjelaskan bahwa dua rakaat sebelum Shalat Subuh lebih baik dari dunia dan isinya.
Meski informasi ini disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak banyak orang yang tertarik. Bahkan Shalat Subuh pun bisa kesiangan.
Bayangkan jika ada malaikat yang siap mentransfer uang bagi siapa yang shalat dua rakaat sebelum Shalat Subuh. Besar uangnya sangat luar biasa. Maka, akan begitu banyak orang yang berebut untuk bisa melaksanakan ibadah sederhana ini.
Lagi-lagi, banyak orang yang tidak bisa membedakan mana yang semu dan mana yang nyata. Karena tidak terlihat, maka yang nyata menjadi semu. Begitu pun sebaliknya.
Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Dan mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat hanyalah kesenangan (yang semu).” (QS. Ar-Ra’d: 26)
Islam tidak mengajarkan bahwa hidup miskin itu mulia. Tidak juga mengajarkan bahwa jabatan duniawi itu tak perlu. Karena sebaik-baik harta dan jabatan adalah yang berada di tangan orang yang beriman.
Peringatan yang semu dan yang nyata adalah tentang orientasi hidup. Seperti yang diajarkan Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani bahwa dunia itu cukup diletakkan di tangan saja, bukan di hati.
Meskipun harta banyak, jabatan tinggi; tapi posisi semuanya tidak berada di hati. Hanya sekadar alat untuk meraih yang nyata sebenarnya: kebahagiaan akhirat. [Mh]