BAGAIMANA sebenarnya poligami yang benar dalam Islam? Ustaz Farid Nu`man Hasan menjelaskan bahwa Ta’adud az Zuwaj (poligami) yang benar tentu yang sesuai tuntutan syariat yakni Al Qur’an dan As Sunnah.
Allah Ta’ala berfirman:
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S. An Nisa [4]: 3)
Baca Juga: Mau Poligami, Coba Pertimbangkan Lagi
Bagaimana Poligami yang Benar dalam Islam?
Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu bagi si laki-laki. Bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa poligami adalah hukum asal dari pernikahan, karena ayat ini menyebutkan dua, tiga, atau empat, lebih dahulu, adapun satu istri jika memang sudah sama sekali tidak mampu.
Syarat utamanya adalah mampu berbuat adil, yakni adil dalam masalah lahiriah seperti pakaian, tempat tinggal, belanja, dan giliran. Adapun adil dalam masalah perasaan, adalah hal yang sangat sulit, bahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengakui kesulitan itu. Sebab naluri manusia pasti ada kecenderungan lebih terhadap yang satu, tidak sama terhadap yang lainnya.
Sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahkan lebih dari empat isteri dan ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
Selain itu, hendaknya pelaku poligami mesti menilik hatinya, apa niat dia untuk melakukannya? Apakah ingin benar-benar mengikuti syariat Allah Ta’ala, mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mengembangkan dakwah Islam, atau sekedar ikut-ikutan tren karena dipanas-panasi oleh pihak tertentu, atau sekedar pembuktian bahwa “aku juga bisa poligami”, yang ujung-ujungnya menyakiti hati wanita, baik isteri pertama atau setelahnya.
Adapun jika alasannya adalah libido yang kurang tersalurkan, baik karena istri yang sudah tidak mampu, atau karena dia sendiri adalah laki-laki yang memiliki syahwat lebih dibanding umumnya, padahal berbagai cara sudah dia lakukan seperti olah raga dan puasa, maka poligami memang menjadi jalan keluar baginya, agar terhindar jalan yang Allah Ta’ala haramkan. Ini dari sisi laki-laki.
Adapun dari sisi wanita, ada dua pihak, yakni pihak isteri pertama. Maka, dia harus disiapkan mentalnya dahulu, dan dipahamkan tentang poligami bahwa itu adalah ketentuan syariat Allah Ta’ala, yang diadakan buat kemaslahatan manusia semuanya baik laki-laki dan wanita. Oleh karenanya, kewajiban suami untuk membuat istrinya paham tentang hal ini sebelum dia melangkah lebih jauh.
Jika ada yang mengatakan, “Ah, dahulu Nabi dan para sahabat tidak susah-susah amat, jika mereka mau nikah lagi, mereka langsung melakukannya, dan isteri mereka pun ridha.”
Ya, itu adalah wanita masa itu yang memang poligami zaman itu adalah hal yang bukan asing, biasa, sama sekali tidak menimbulkan fitnah, ditambah lagi kualitas istri Nabi dan istri para sahabat yang tidak bisa disamakan dengan dengan istri-istri zaman ini. Adapun zaman ini sama sekali tidak sama.
Lucunya, kita berharap istri kita sekualitas para istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sahabat pada zaman itu, tapi kitanya tidak pernah meng-upgrade diri seperti sahabat. Jika istri pertama sudah mampu dibuat paham dan mengerti, serta siap mentalnya, maka lanjutkan ke tahap berikutnya.
Pihak istri kedua (dan seterusnya sampai keempat), maka ini pun harus dipersiapkan oleh si laki-laki. Siapakah dia? Apakah memiliki resistensi dari pihak istri pertama?
Ada istri pertama yang siap dipoligami dan tidak masalah suaminya melakukannya, tapi dia tidak siap jika dimadu oleh wanita yang tidak disukainya, baik karena faktor agama, perangai, bahkan masalah usia.
Pertimbangan-pertimbangan ini mesti masuk dalam kalkulasi seorang suami, jangan hanya mempertimbangkan keinginan sendiri; seperti maunya yang cantik, muda, dan kaya. Sehingga dengan pertimbangan ini, pada saatnya nantinya istri-istri ini bisa akur dan bersahabat dengan baik.
Sudah banyak cerita sebagian ikhwah yang menikah dengan istri lebih dari satu, dan istri-istrinya bisa akrab, bahkan ada yang menikah lagi dicarikan oleh istri pertama. Demikian.
Masalah poligami bukan cuma masalah fiqih boleh tidaknya secara hitam putih. Tapi banyak hal yang mesti dilihat secara holistik. Karena kita tidak hidup di zaman terbaik.
Kita hidup pada zaman yang asing dari nilai syariah dan sunnah, dan tidak mudah menjalankan keduanya di zaman yang tidak mengenalinya.
Jika kita bicara secara fiqih munakahat semata, mudah-mudah saja poligami itu. Si laki-laki mau nikah lagi, modal ada, calon ada, lalu semua rukun dan syarat nikah sudah terpenuhi, maka dia nikah lagi itu sudah sah dan cukup, adapun istri pertama tak perlu dimintakan izin darinya.
Tapi, apakah dari pernikahan seperti ini lebih mendekatkan pada tujuan pernikahan, sakinah mawaddah wa rahmah? Atau menjadi bom waktu? Oleh karena itu pertimbangan-pertimbangan yang disebutkan, pandanglah sebagai alat bantu untuk menyiapkan segalanya menuju poligami yang sukses. Wallahu A’lam. [Cms]
Sumber: Alfahmu.id – Website Resmi Ustaz Farid Nu’man.