Semakin berilmu, semakin orang lebih berhati-hati dalam bicara dan bertindak. Begitu pun sebaliknya.
Di Madinah di masa tabi’in, ada tujuh orang yang dikenal sebagai tujuh ahli agama Madinah. Mereka itu di antaranya adalah Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Salim bin Abdullah bin Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhum.
Baik Al-Qasim yang merupakan cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq maupun Salim yang juga cucu Umar bin Khaththab sama-sama hidup di sekitar tahun 35 hijriyah hingga 105 hijriyah di Madinah.
Suatu hari, ada orang desa dari pelosok Arab datang menemui Al-Qasim bin Muhammad. Tanpa basa-basi, ia bertanya, “Antara Anda dan Salim bin Abdullah, siapa yang paling berilmu?”
Al-Qasim menjawab, “Rumahnya Salim di sana!”
Karena tak ada penjelasan lain selain kalimat pendek itu, orang desa itu pun pergi meninggalkan Al-Qasim.
Para ulama memuji perilaku Al-Qasim ini. Ia sengaja tidak menjawab pertanyaan itu, tapi hanya mengalihkan ke topik yang lain.
Karena sekiranya ia menjawab yang lebih berilmu itu adalah Salim, maka boleh jadi ia salah. Hal ini karena belum ada kepastian.
Sementara, jika ia menjawab kalau yang lebih berilmu adalah dirinya, hal itu akan menunjukkan sifat sombong. Nah, karena itulah, ia mengucapkan kalimat yang tidak ada hubungannya dengan pertanyaan itu, semacam basa-basi saja.
**
Begitulah di antara sifat orang yang berilmu. Semakin berisi, ia semakin berhati-hati dalam bicara, apalagi bertindak. Seolah, ia merasakan dirinya menjadi lebih ‘bodoh’ dari orang lain di sekitarnya.
Sebaliknya, orang yang sedikit ilmunya akan cepat bereaksi dengan pertanyaan atau ‘stimulus’ yang kecil saja. Hal itu karena yang akan ia ucapkan hanya di sekitaran kulit saja, bukan isinya. Karena memang hanya itu yang ia punya.
Tidak heran jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah berkata yang baik atau diam. [Mh]




