KEHIDUPAN setelah gempa bumi, Sekolah Lego di Lombok.
Sekolah blok tersebut merupakan bagian dari inisiatif perintis yang dijalankan oleh Classroom of Hope, sebuah lembaga swadaya masyarakat Australia yang membantu mempercepat program pembangunan kembali sekolah di Lombok Utara.
Lembaga ini menggunakan sistem bangunan modular yang disusun seperti Lego, sehingga seluruh bangunan dapat dirakit dalam waktu seminggu.
Program ini juga mengambil apa yang para pemimpinnya gambarkan sebagai pendekatan “ekonomi sirkular” untuk mengurangi polusi sampah plastik di Indonesia, dengan setiap kelas menghilangkan sekitar 1,8 ton sampah plastik dari lingkungan.
Pendorong utama inisiatif sekolah blok adalah untuk meningkatkan akses pendidikan, kata CEO Classroom of Hope Tanya Armstrong.
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
“Penelitian kami menemukan bahwa anak-anak belajar setengah dari jumlah yang mereka peroleh di sekolah sementara dibandingkan dengan yang mereka peroleh di sekolah permanen,” katanya.
Penilaian lapangan yang dilakukan oleh lembaga amal tersebut mengidentifikasi sedikitnya 100 sekolah lain di Lombok Utara yang dibutuhkan sebagai bagian dari pemulihan pascagempa.
Ketika Al Jazeera English mengunjungi beberapa sekolah blok terbaru bulan lalu, antusiasme yang kembali membara untuk belajar di antara para siswa dan guru tampak jelas di dalam ruang kelas yang rapi dan luas.
Para siswa dan guru sama-sama mengatakan bahwa mereka merasa lebih aman di gedung-gedung ini daripada yang dibangun dengan bahan-bahan konvensional, terutama sejak gempa bumi.
Baca juga: Kehidupan Setelah Gempa Bumi, Sekolah Lego di Lombok (1)
Kehidupan Setelah Gempa Bumi, Sekolah Lego di Lombok (2)
Di SDN 4 Sigar Penjalin, yang juga berada di desa Tanjung, dua ruang kelas blok sedang diselesaikan sebagai persiapan untuk mengganti tenda-tenda usang di bawah bangunan sekolah yang rusak yang selama ini digunakan sebagai ruang kelas.
Bangunan-bangunan ini hanya memiliki sekat kayu dan logam tipis yang memisahkan murid-murid dari kebisingan dan asap lalu lintas jalan utama yang padat.
Penambahan ruang kelas baru di gedung-gedung yang digunakan membawa rasa normalitas yang sangat dibutuhkan di sekolah setelah tantangan emosional yang dihadapi masyarakat, kata kepala sekolah Baiq Nurhasanah, 46 tahun.
“Masih ada getaran setiap hari selama sebulan setelah gempa dan orang-orang yang tinggal di perbukitan (karena takut tsunami) takut untuk kembali ke desa mereka. Anak-anak sangat khawatir untuk kembali ke sekolah,” katanya.
Mengenakan jilbab kuning cerah, guru yang periang itu dengan penuh kasih menyapa anak-anak yang berlarian untuk berdiri bersamanya di halaman sekolah, tetapi ia menjadi berlinang air mata ketika mengingat salah satu muridnya yang merupakan salah satu dari lima anggota keluarga yang meninggal ketika rumah mereka runtuh. “Trauma itu masih ada dalam diri semua orang di sini,” katanya.
Sumber: aljazeera
[Sdz]