SIKAP malu berkaitan erat dengan kualitas iman seseorang, karena dengan malu seseorang akan memperhatikan setiap tindakannya. Jika dilandaskan pada syari’at Islam, seseorang akan mudah untuk melakukan ketaatan dan menjauhi kemunkaran.
Dalam kitab Fiqhul Hayaa’ karya Muhammad Ismail Muqaddam, dalam bahasa arab malu adalah Al-Hayaa’ yang merupakan bentuk masdar dari hayiya, al-Hayaat yang artinya “hidup”.
Kata al-Ghaits (hujan) bisa juga diartikan hayaa (kehidupan), karena keberadaan hujan yang bisa memberikan kehidupan pada bumi, tumbuhan, dan hewan.
Maksud al-Hayaa’ (kehidupan) di sini adalah kehidupan dunia dan akhirat. Karena itu, siapa yang tidak memiliki malu berarti dia mati di dunia dan sengsara di akhirat.
Baca Juga: Budayakan Malu Sejak Dini
Sikap Malu Berkaitan Erat dengan Kualitas Iman Seseorang
Beberapa ahli retorika Arab (balaghah) mengatakan, “Raut wajah seseorang yang selalu dihiasi dengan rasa malu, laksana kebun yang tumbuh subur karena siraman air.”
Jadi, hidupnya hati seseorang tergantung pada seberapa banyak dia memiliki rasa malu. Ketika rasa malunya sedikit, maka hati dan jiwanya menjadi mati. Artinya, ketika hati seseorang lebih hidup, maka perilaku malunya pun akan lebih sempurna.
Imam Ibnu Qayim al-Jauziyah berkata, “Ketika akhlak mulia ini (malu) benar-benar melekat pada pelakunya, maka dia akan hidup lebih kuat dan sempuma. Dengan demikian, perilaku malu (al-hayaa) diambil dari kata “al-hayaat” yang artinya hidup, dan itulah nama dan makna hakiki dari malu.
Karena itu, manusia yang sempurna hidupnya adalah mereka yang paling sempurna malunya. Sebaliknya, nilai kehidupan manusia menjadi berkurang, saat dia kurang memiliki rasa malu.”
“Ketika ruh (hati) seseorang mati, maka keburukan yang menimpa dirinya tidak bisa ia rasakan, sehingga ia tak lagi malu bergaul dengan keburukan tersebut. Namun, ketika ruhnya hidup secara sehat, maka ia akan merasakan keburukan yang ada di hadapannya dan ia pun menjadi malu untuk bergaul dengannya.
Begitu pula akhlak dan perilaku mulia lainnya, ia bisa melekat pada diri seseorang tergantung sejauh mana dia menghidupkan akhlak dan perilaku mulianya tersebut.”
“Oleh karena itu, kehidupan sang pemberani lebih sempuma dibanding kehidupan si pengecut, kehidupan dermawan lebih baik dibanding kehidupan orang bakhil atau pelit, dan kehidupan orang yang cerdas lebih bermutu dibanding kehidupan orang bodoh atau dungu.
Para nabi adalah manusia yang sangat pemalu. Tak heran jlka kehidupan mereka mencapai tingkat yang paling sempuma. Demikian halnya dengan para teladan yang mengikutinya.
[Ln]