PETAKA Raja Muda. Pernahkah membayangkan suatu masa pada periode Daulah Abbasiyyah yang begitu berdarah-darah? Periode itu diistilahkan oleh sejarawan sebagai “Anarki Sammara”.
Penulis buku Journey to Samarkand Uttiek M. Panji Astuti menulis tentang kisah ini.
“Kupersembahkan kepala sepupumu!”
“Singkirkan!” jawab Khalifah Al Mu’tazz yang sambil terus bermain catur, “taruh kepala itu di sana sampai aku selesai bermain,” perintahnya.
Usai bermain catur, sang algojo diganjar hadiah 500 keping emas.
Innalillahi wa innailaihi rojiun.
Pernahkah membayangkan suatu masa pada periode Daulah Abbasiyyah yang begitu berdarah-darah? Periode itu diistilahkan oleh sejarawan sebagai “Anarki Sammara”.
Masa itu terjadi ketika ibukota kerajaan dipindahkan dari Baghdad ke sebuah kota indah bernama Samarra.
Kisah berawal saat Khalifah Al Watsiq yang berusia 36 tahun wafat tanpa ada sosok yang ditunjuk sebagai penerusnya.
Budak-budak militer dari Asia Tengah yang saat itu secara de facto menguasai Daulah Abbasiyyah, dengan para khalifah yang hanya diperalat sebagai pemimpin boneka, bersepakat mengangkat saudara tiri khalifah yang mangkat.
Ia adalah Ja’far yang bergelar Khalifah Al Mutawakkil ‘alallah. Nasib tragis mengiringi hidupnya, ia dibunuh oleh anaknya sendiri dengan memakai tangan para budak militer dari Asia Tengah.
Sang anak lalu naik tahta dengan gelar Khalifah Al Munthasir Billah. Ia hanya memerintah selama 6 bulan.
Di usia yang masih sangat muda, 26 tahun, ia dibunuh oleh orang-orang suruhan yang dulu membantunya membunuh ayahnya sendiri.
Menjelang ajal ia berkata, “Wahai ibuku, telah lenyaplah dunia dan akhirat dariku. Kubunuh ayahku, maka aku pun kini dibunuh.”
Penggantinya adalah Al Musta’in Billah, seorang khalifah yang lahir dari rahim budak perempuan berdarah Turki.
Pamannya, yang bekas budak militer, namun telah memegang posisi sebagai jenderal, bersekongkol dengan para jenderal lainnya mengangkatnya sebagai khalifah.
baca juga: Kisah Tragis Para Mujahid yang Kalah oleh Nafsu
Petaka Raja Muda
Lagi-lagi sang raja hanyalah “mainan” bagi intrik-intrik yang terjadi antara faksi-faksi dalam tubuh budak-budak militer itu.
View this post on Instagram
“Anarki di Samarra” membalik sejarah. Bani Abbasiyyah yang pernah perkasa menguasai dunia diporakporandakan oleh budak militer dari Asia Tengah dan pesisir Afrika yang dibangunnya sendiri.
Peristiwa itu harusnya menjadi pelajaran bagi kita. Memang bukan semata soal usia muda, namun pemimpin yang lemah hanya akan menjadi “boneka” kekuatan jahat yang ada di belakangnya.
Dari periode “Anarki Samarra”, tidakkah kita mau belajar sejarah?[ind]