SEORANG siswa sekolah menengah di Massachusetts bernama Liam Morrison, dikeluarkan dari kelas karena mengenakan kaos yang bertuliskan “There are only two genders” (Hanya ada 2 Gender).
Ia mengatakan di depan Dewan Sekolah Middleborough pada 13 April lalu bahwa dirinya menolak saat dipaksa oleh pejabat sekolah untuk mengganti kaosnya ketika sedang berada di kelas olahraga pada 21 Maret.
“I was told that I would need to remove my shirt before I could return to class. When I nicely told them I didn’t want to do that, they called my father.”
Pejabat sekolah mengatakan bahwa siswa lain tidak nyaman dan mengeluhkan tindakan Morrison serta mengganggu proses belajar.
Tetapi dengan memaksa Morrison untuk mengganti kausnya, ia menyebutkan bahwa pihak sekolah telah membatasi kebebasannya berbicara.
Beruntungnya sang ayah mendukung keputusan Morrison dan datang ke sekolah untuk menjemputnya.
Baca Juga: Gara-gara Challenge di Medsos, 55 Siswa SMP di Pekanbaru Sayat Tangannya Sendiri
Siswa SMP Ini Dikeluarkan dari Kelas karena Mengenakan Kaos Bertuliskan “Hanya Ada 2 Gender”
Dilansir dari Dailymail.co.uk, Morrison mengaku bahwa ia hanya mengenakan pakaian yang dia yakini sebagai fakta.
“What did my shirt say?’ ia melanjutkan. “Five simple words: ‘There are only two genders.’ Nothing harmful. Nothing threatening. Just a statement I believe to be a fact,” tegasnya.
Dia mengaku mengenakan kaos tersebut bukan untuk melukai perasaan pihak tertentu ataupun untuk menimbulkan masalah.
Tapi pejabat sekolah justru mengatakan kepadanya bahwa tindakannya itu menargetkan kelas yang dilindungi.
“Who is this protected class?” tanya Morrison. “Are their feelings more important than my rights,” ucapnya.
Morrison juga sering melihat bendera LGBTQ+ dan poster tentang keberagaman bergantung di sekolah. Namun ia tidak pernah mengeluhkannya, karena ia tahu bahwa orang lain memiliki hak atas keyakinan mereka sendiri.
Tetapi pejabat sekolah tersebut justru membatasi haknya untuk memiliki keyakinan tertentu.
Alasan pejabat sekolah bahwa kaos yang ia kenakan mengganggu proses pembelajaran di kelas juga dianggap sesuatu yang ganjal bagi Morrison.
Faktanya selama pembelajaran berlangsung tidak ada satupun murid yang terganggung lalu keluar dari kelas ataupun menangis.
Teman-temannya juga tidak pernah mengatakan kepadanya bahwa mereka terganggu dengan kaos yang ia kenakan, bahkan ada sebagian dari mereka mendukung pesan yang tertulis dalam kaosnya itu.
Ia juga mengaku sering merasa terganggu saat dikelas oleh kelakuan teman-temannya namun tidak ada tindakan apapun dari sekolah.
“I experience disruptions to my learning every day,” katanya. “Kids acting out in class are a disruption, yet nothing is done. Why do the rules apply to one and to another?”
Dengan keputusan pejabat sekolah itu mengeluarkannya dari kelas ia menyadari bahwa orang dewasa tidak selalu melakukan hal yang benar dan dirinya memiliki hak berpendapat.
“Even at 12 years old, I have my own political opinions and I have a right to express those opinions. Even at school. This right is called the First Amendment to the Constitution,” tuturnya.
Ia berharap pihak sekolah memiliki sikap yang lebih bijak saat menghadapi perbedaan pendapat tanpa harus diusir dari kelas hanya karena seseorang memiliki pendapat yang bertentangan dengan pendapat sekolah.
“My hope in being here tonight is to bring the School Committee’s attention to this issue,’ katanya.
“I hop that you will speak up for the rest of us, so we can express ourselves without being pulled out of class,” pungkas Morrison. [Ln]