IKHLAS itu beramal semata-mata karena Allah. Dan, Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu pernah membuktikannya.
Nama Khalid bin Walid sudah dikenal di seantero sejarah Islam. Dunia mengakui kehebatannya dalam dunia militer.
Usia hidupnya tidak tergolong tua. Masih ada jatah enam tahun jika merujuk pada usia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena ia wafat pada usia 57 tahun.
Meski ia masuk Islam juga tergolong ‘telat’ di banding para tokoh Mekah seusianya. Karena ia masuk Islam ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sekitar lima tahun lagi wafat. Tapi waktu tergolong singkat itu tidak menghalanginya meraih begitu banyak prestasi gemilang.
Bakat hebatnya di dunia militer diapresiasi Rasulullah dengan gelar syaifullah atau pedang Allah. Gelar itu seperti garis start yang mengantarkan pasukan Islam meraih banyak kemenangan gemilang melalui kepemimpinan Khalid.
Ayah tiga anak ini menjadi pemimpin tertinggi dalam militer Islam saat itu. Begitu pun ketika kepemimpinan Rasulullah diteruskan oleh Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq selama akhir hayat khalifah pertama itu.
Berkat kepiawaian Khalid, pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq sukses mengendalikan pemberontakan besar pertama oleh ribuan pasukan Musailamah di Yaman.
Bisa dibilang, selama kepemimpinan Khalid bin Walid, hampir tak pernah tercatat kata gagal. Kharismanya begitu cermerlang di kalangan pasukan muslim.
Namun, ketika Khalifah Umar bin Khaththab menggantikan Abu Bakar Ash-Shiddiq, ada sesuatu yang menarik dialami panglima Khalid bin Walid. Umar tiba-tiba mencopotnya dan jabatan panglima diberikan kepada Abu Ubaidah bin Jarrah.
Begitu banyak tanda tanya tentang pencopotan mendadak ini. Kenapa? Apa yang salah dari Khalid bin Walid.
Umar pun menjelaskan itu kepada Khalid saat tiba di Madinah. Khalid menerimanya dengan ikhlas. Antara lain, Umar ingin menyelamatkan Khalid dan pasukan Islam dari kultus individu kepada kepemimpinan yang sehat, tanpa pengkultusan.
Pertanyaannya, apakah Khalid surut pasca pencopotan itu? Khalid membuktikan siapa dirinya. “Aku berjihad karena Allah, bukan karena Umar,” begitu kira-kira yang disampaikan Khalid kepada pasukan Islam.
Meski tak lagi sebagai panglima, Khalid tetap ikut berjihad bersama kepemimpinan baru. Bahkan, ia menjadi sosok kunci sejumlah penaklukan besar di kawasan Bizantium yang saat ini berada di propinsi Aleppo dan Homs di Suriah.
Sejumlah operasi militer lain terus ia ikuti meskipun tak lagi sebagai panglima. Karena ia memang ingin berjihad karena Allah, bukan karena jabatan, pujian, dan berbagai kepentingan duniawi.
Ada satu hal yang membuatnya menangis saat ajal akan datang menjemputnya. Ia mengungkapkan bahwa selalu ada bekas luka sabetan pedang musuh di setiap jengkal tubuhnya. Tapi, akhirnya ia akan wafat bukan di medan pertempuran. Melainkan di sebuah tempat tidur karena sakit.
Sekali lagi, Allah subhanahu wata’ala seperti menguji keikhlasan Khalid bin Walid sebagai mujahid sejati. Dunianya selalu ada di medan pertempuran, tapi wafatnya di tempat tidur.
Khalid bin Walid wafat di Homs, Suriah saat ini. Ia dimakamkan di sebuah masjid di kota itu. Sebuah kawasan yang menjadi saksi sejarah karena dibebaskan sang pedang Allah dari penjajahan Bizantium.
Keikhlasan tidak menyurutkan perjuangan seseorang karena tidak lagi menjabat. Tidak lagi disebut-sebut sebagai pemimpin. Tidak lagi banyak orang yang memuji-muji. Kecuali karena mengharap ridha Allah. [Mh]