Penulis: Sapto Waluyo
(Pembina Center for Indonesian Reform/CIR)
KOMUNITAS ibu-ibu pengajian menjadi sorotan nasional, bukan karena ulah mereka yang aneh, tapi karena komentar Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Dalam acara Kick Off Meeting Pancasila dalam Tindakan dengan tema “Gerakan Semesta Berencana Mencegah Stinting, Kekerasan Seksual pada Anak dan Perempuan, Kekerasan dalam Rumah Tangga, serta Mengantisipasinya”, Megawati berujar polos:
“Saya lihat ibu-ibu tuh ya, maaf ya, sekarang kan kayaknya budayanya, beribu maaf, janganlagi nanti saya di-bully, kenapa toh senang banget ngikut pengajian. Iya lho, maaf beribu maaf. Saya sampai mikir gitu, ini pengajian ki sampai kapan to yo, anakke arep diapake (anaknya mau diapakan)?” kata Mega (16/2/2023). Megawati yang juga merangkap Ketua Dewan Pengarah BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) sebenarnya tidak bermaksud menghujat perilaku ibu-ibu pengajian, apalagi tradisi agama tertentu. Tapi, karena keterbatasan logika dan keterampilan berbahasa, maka menimbulkan mispersepsi yang menyulut kontroversi.
Menurut Sekjen PDIP, pernyataan Mega harus dilihat secara menyeluruh, dengan konteks keterlibatan ibu-ibu dalam pendidikan anak. Untuk itu, Mega menyampaikan permintaan khusus kepada Menteri Sosial Tri Rismaharini dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Puspayogo, agar memperhatikan manajemen rumah tangga demi mencegah stunting dan masalah sosial lainnya.
Kontroversi sudah terlanjur merebak dan mendapat respon yang luas di tengah masyarakat. Koalisi Pegiat HAM Yogyakarta melaporkan Ketua Umum PDIP Megawati ke Komnas Perempuan RI, karena ucapan Mega dinilai merupakan pelabelan dan penghakiman (stigma) negatif terhadap kelompok masyarakat (ibu-ibu pengajian). Wakil Menteri Agama KH Zainut Tauhid Sa’adi turut berkomentar bahwa kritik Megawati harus dipandang sebagai bahan evaluasi supaya ibu-ibu lebih bisa mengatur waktu antara kegiatan agama (pengajian) dengan tugas mendidik dan merawat anak-anaknya. Namun Ketua MUI Pusat Bidang Ukhuwah dan Dakwah, KH Muhammad Cholil Nafis ingin mengajak berdiskusi, bahwa kegiatan ibu-ibu yang menyita waktu itu karena bekerja atau sosialita. Sementara pengajian, dipandang Kiai berlatar NU itu, justru mendapat tambahan ilmu agama yang mengajarkan pendidikan anak dan sebagai sarana silaturahim di tengah kepenatan mengurus rumah tangga.
Argumentasi Kiai muda Cholil Nafis ini menarik, karena memperlihatkan perilaku yang berbeda di antara kelompok perempuan: ada ibu-ibu pengajian, pekerja perempuan atau sosialita perempuan yang eksis di media sosial dan pertemuan eksklusif (kelas atas). Mana di antara kelompok perempuan itu yang berdampak terhadap pengelolaan rumah tangga dan akhirnya memicu masalah sosial? Tidak mudah menjawabnya, tapi sebagai Pengarah BRIN, Mega bisa memerintahkan peneliti bidang sosial humaniora untuk mencari akar masalah. Atau, kalau DPP PDIP benar-benar serius ingin memecahkan masalah sosial, maka perintahkan kadernya yang menjadi Mensos dan Menteri PPPA agar merumuskan kebijakan efektif dan terpadu mencegah stunting dan kekerasan sosial. Sehingga tidak muncul argumentasi misleading atau asumsi yang tidak berdasar.
Sementara itu, berkaitan dengan isu kekerasan, muncul gejala yang mengkhawatirkan di kalangan remaja atau pemuda yang mudah marah dan melampiaskan emosinya dalam bentuk perilaku agresif yang mengancam nyawa orang lain. Peristiwa terkini adalah seorang pemuda bernama Mario (20 tahun) yang menganiaya David (17 tahun) hingga koma. Gegaranya, pacar Mario (bernama Agnes) konon dilecehkan oleh David (mantan pacarnya juga). Dalam pemeriksaan kemudian terungkap bahwa bukan Agnes yang mengadu kepada Mario, tapi ada kawan perempuan lain (inisial APA) dan kawan Mario bernama Lukas yang turut memprovokasi. Tidak hanya menculik dan menganiaya David secara keroyokan, kawan Mario juga merekam aksi agresif yang mengerikan itu dan akhirnya tersebar lewat kanal media sosial. Kengerian mencekam publik: apakah sebrutal itu perilaku anak muda Indonesia, terutama dari golongan elite kaya?
Identifikasi sosial dilakukan Mario secara vulgar lewat akun medsosnya; suka mengendarai mobil mewah Rubicon (harga Rp 2 miliar) dan motor gede Harley Davidson (harga Rp 500 juta sampai Rp 1 miliar). Kemudian terbongkar ayah Mario adalah Rafael Alun Trisambodo yang bekerja sebagai pejabat di Direktorat Pajak Kementerian Keuangan RI. Posisinya sebagai Kepala Bagian Umum Ditjen Pajak Kemenkeu untuk Kanwil Jakarta Selatan II. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2019, sebagai pejabat eselon III di DJP, Rafael mendapat penghasilan bersih (take home pay) sekitar Rp 45 – 51 juta. Sangat aneh, bila Rafael tidak punya penghasilan lain, tapi bisa memiliki mobil sekelas Rubicon dan motor gede. Sedangkan total harta kekayaan Rafael sekitar Rp 56 miliar, hampir sama dengan harta kekayaan Menteri Keuangan Sri Mulyani, menimbulkan masalah baru yang merusak kredibilitas Ditjen Pajak. Sebagai resikonya, Rafael dicopot dari jabatannya oleh Menkeu dan harus menghadapi pemeriksaan aparat terkait (KPK dan PPATK).
Bila kita memakai logika Megawati dalam mencermati gejala kekerasan di kalangan anak muda, maka pertanyaannya: siapa ibu dari Mario yang melakukan aksi kekerasan secara brutal? Apa pekerjaan atau kebiasaan ibu yang menyebabkan anaknya terlibat kekerasan? Sejauhmana peran ibu (dan bapak) dalam mendidik anaknya agar terhindar dari sikap emosional dan agresif? Pertanyaan ini mungkin terdengar mengada-ada, tapi bisa menjadi diskusi serius terkait pergeseran kelas sosial di Indonesia.
Menurut media massa, gaya hidup ibu Mario (yakni Ernie) juga gemar pamer seperti anaknya. Memakai tas branded dengan harga fantastis, tinggal di rumah mewah dengan fasilitas kolam renang dan gym. Tidak cuma satu rumah, tapi sekurangnya ada tiga di Jakarta, Yogyakarta dan Manado. Bukan sekadar ibu rumah tangga, tapi pengusaha yang memiliki bisnis kafe dan restoran. Tentu saja, tipe ibu Mario ini bukan seperti mak-emak pengajian (yang disindir Megawati), lebih mirip perempuan pengusaha dan sosialita (yang ditengarai Kiai Cholil Nafis). Hal itu terlihat dari jejak digital dalam akun instagram milik Ernie (@26_emt) yang kini sudah digembok: pernah memuat profil sang ibu dengan tas dan sepatu berlabel Christian Dior dan Channel.
Perilaku mak-emak pengajian (yang anaknya dikhawatirkan terganggu kesehatan dan pendidikannya) sangat berbeda dengan mak-emak sosialita (yang anaknya terlibat kekerasan brutal). Dalam sosiologi, kita mengenal konsep kelas sosial (social class) yang tercermin dalam gaya hidup (life style) suatu kelompok masyarakat.
Konsep kelas pada mulanya dirumuskan Marx berdasarkan pemilikan modal kerja (tanah) dan keuntungan yang diperoleh dengan menyewakan tanah, serta para pekerja yang menerima upah karena mengolah tanah dan proses produksi lain (pabrik). Pembagian kerja membuat masyarakat kapitalis terbagi atas tiga kelas, yaitu pemilik tanah, pemilik modal dan kaum buruh. Teori Marx menyatakan konflik permanen dalam sistem kapitalis antara kelas yang mengontrol proses/alat produksi dan menikmati keuntungan (borjuis) berhadapan dengan kelas yang menjalani proses produksi dan menjadi penyedia jasa bagi kelas dominan (proletar). Perubahan sosial terjadi karena pertentangan antar kelas membuat pergeseran dalam pemilikan modal dan alat produksi.
Berbeda dengan Weber yang mendefinisikan kelas sosial tidak hanya berdasarkan taraf ekonomi, tetapi juga status sosial (prestige) dan kekuatan politik (power). Sebuah kelas sosial, dapat dilihat dari penampilan luar seperti kekayaan, pendapatan, atau pekerjaan yang dilakukan kelompok tersebut. Weber menyebut empat kelas sosial yaitu: pemilik properti, kaum profesional, borjuis kecil (petty bourgeoisie) dan kelas pekerja. Weber (1922) berpendapat bahwa selera merupakan pengikat kelompok yang anggotanya mengidentifikasi diri dalam persamaan (in-group). Aktor-aktor kolektif berkompetisi dalam pemilikan dan penggunaan barang-barang simbolik. Keberhasilan dalam berkompetisi ditandai dengan kemampuan untuk memonopoli sumber budaya, sehingga akan meningkatkan prestise dan solidaritas kelompok. Misalnya, memakai seragam dengan logo tertentu atau memiliki barang yang sama seperti pengendara motor atau mobil gede. Mak-emak pengajian biasa memakai seragam Muslimah dan kerudung, mak-emak sosialita memakai pakaian dan perhiasan branded dari butik terkenal. Perubahan sosial menurut Weber karena perubahan orientasi kehidupan masyarakat, sehingga pergeseran nilai keagamaan menjadi penting.
Perilaku konsumsi berlebihan yang dilakukan kelas sosial tertentu juga menandai perubahan dalam masyarakat. Dalam bukunya “The Theory of the Leisure Class” (1899), Veblen menguraikan perilaku itu lahir dari sebuah konteks sosial dimana kelompok orang kaya baru mencoba mengakomodasi hasrat mereka akan penghargaan dan status sosial. Konsumsi barang-barang mewah menjadi sarana untuk berkompetisi antar kelompok. Orang kaya baru (OKB) di Indonesia biasa disebut Crazy Rich, ada yang muncul karena orangtua atau mertua tajir seperti Nia Ramadhani (menantu Aburizal Bakrie) atau Nikita Willy (menantu dari pemilik group transportasi Blue Bird). Ada pula Liana Saputri (22 tahun) dan Jhony Saputra (20 tahun) yang memiliki kekayaan hingga Rp 5 triliun adalah anak dari Haji Isam (Samsudin Andi Arsyad, penguasa lahan tambang di Kalimantan).
Di era ekonomi digital, OKB bisa muncul dari kalangan artis atau selebritis yang memiliki akun medsos dengan follower jumbo (jutaan), sehingga mengakumulasi cuan (keuntungan) seperti Rafi Ahmad yang pendapatannya sebagai Youtuber ditaksir mencapai USD 800 ribu atau Rp 11 miliar per bulan. Total kekayaan artis yang mengelola RANS Entertainment itu tak kurang dari Rp 9,97 triliun, sehingga diberi gelar Sultan Andara. Youtuber dengan subscriber terbanyak adalah Ria Ricis (30 juta follower dengan pendapatan Rp 10,94 miliar), Atta Halilintar (20 juta pelanggan dengan pendapatan Rp 10,1 miliar) dan Deddy Corbuzier (19 juta pelanggan dengan pendapatan Rp 6,54 miliar). Mereka menjadi role model baru bagi Gen Z, sehingga ketika ditanya: kalau sudah besar mau jadi apa? Jawabannya bukan menjadi dokter, insinyur atau guru; melainkan menjadi Youtuber dan Content Creator.
Pada tahun 1959, Clifford Geertz menulis buku “The Religion of Jawa”, kajian antropologi-sosial tentang perilaku keagamaan masyarakat Jawa, khususnya di wilayah Kediri, Jawa Timur. Dalam riset empirik yang mendalam, Geertz merumuskan pengelompokan masyarakat Jawa dalam tiga kategori: Abangan, Santri dan Priyayi. Abangan dan Santri memang masuk kategori perilaku keagamaan yang bersifat sinkretis atau puritan. Namun, kategori Priyayi bukan perilaku keagamaan, melainkan strata sosial (tinggi) yang biasanya dihadapkan dengan Wong Cilik (strata sosial rendah). Geertz menggabungkan dua kategori sosial yang berbeda, sehingga menimbulkan kesalahpahaman yang diwarisi sampai kini.
Fenomena maraknya mak-emak pengajian menandai proses “santrinisasi” kelas menengah di beberapa kota besar di Indonesia. Pengajian Paramadina yang diasuh Nurcholis Madjid di hotel-hotel mewah atau di Masjid Pondok Indah merupakan salah satu penanda pada era 1980-an. Begitu pula pengajian Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) yang diikuti masyarakat lebih beragam di Masjid Istiqlal. Gejala santrinisasi semakin luas merambah pelosok desa berkat tayangan televisi mulai dari kuliah Subuh dan Dhuha (seperti pengajian Mamah Dedeh), pengajian akhir pekan (Damai Indonesiaku), hingga acara Sahur dan Buka Bersama pada bulan Ramadhan. Pengelola media sangat senang karena semua acara tersebut menggaet iklan dan penonton dalam jumlah besar, termasuk sinetron relijius yang mendapat rating tinggi.
Sindiran Megawati terhadap mak-emak pengajian mungkin bersifat emosional-spontan, tapi dari perspektif sosiologis dapat dimaknai sebagai kekhawatiran terhadap gejala “islamisasi” (lebih dari sekadar santrinisasi) yang melanda kalangan abangan. Perubahan perilaku keagamaan dalam kelas sosial mungkin berdampak pada pergeseran orientasi politik. Ini bisa menjadi sumber ketegangan baru yang dicap sebagai bangkitnya politik identitas. Sebenarnya komunitas nasionalis PDIP juga memanfaatkan forum pengajian untuk menarik konstituen, bahkan mendirikan Baitul Muslimin Indonesia sebagai wadah khusus untuk menjaring suara Umat Islam. Namun maraknya simbol dan gaya hidup santri (kerudung dan busana Muslim, berlibur untuk Umrah, kuliner dan wisata halal, komunitas hijrah) dipersepsi sebagai kekuatan sosial-politik tertentu.
Fenomena yang lebih mencemaskan sebenarnya muncul golongan kaya baru yang hobi pamer harta (flexing). Padahal, tidak jelas dari mana kekayaan itu mereka peroleh, sehingga terbongkar perilaku crazy rich yang suka menipu dengan investasi bodong semacam Indra Kenz dan Doni Salmanan. Lebih mengerikan bila sikap pamer itu menutupi perilaku arogan dan agresif. Mereka hanya ingin eksis dan diakui publik, padahal eksistensinya justru menjadi ancaman bagi ketertiban sosial. Seberapa besar kelas sosial mewah dan arogan itu tumbuh akan menentukan masa depan Indonesia: apakah lebih beradab atau menjadi biadab (uncivilized). [Mh]