LABELLING terhadap pasangan sering dianggap hal biasa dalam dinamika rumah tangga. Namun, menurut praktisi hukum Rosalita Candra, SH., MH., perilaku ini dapat dikategorikan sebagai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Labelling terhadap pasangan tidak hanya melukai secara verbal, tetapi juga berdampak pada kesehatan mental, pola komunikasi, dan tumbuh kembang anak yang menyaksikan.
Karena itu, memahami konsep Labelling terhadap pasangan menjadi penting dalam mencegah konflik yang semakin besar di kemudian hari.
Baca juga: Pentingnya Perjanjian Perkawinan sebelum Menikah, Cek Syarat dan Ketentuannya
Mengapa Labelling Termasuk KDRT?
Rosalita menjelaskan bahwa dalam hukum, kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya berbentuk fisik. Ada empat bentuk KDRT:
- Kekerasan verbal (labelling)
- Kekerasan psikis
- Kekerasan fisik
- Penelantaran
Pada poin pertama, labelling terhadap pasangan merupakan bentuk kekerasan yang sering tidak disadari. Saat seseorang melabeli pasangannya dengan kata-kata seperti “bodoh”, “pemalas”, atau “tidak berguna”, itu bukan sekadar ungkapan emosi — tetapi bentuk penghinaan, pembunuhan karakter, dan pelemahan harga diri. Dampaknya panjang: relasi memburuk, trauma terbentuk, dan pola ini sering diwariskan kepada anak.
Pada titik ini, Rosalita mengingatkan:
“Saat memilih jodoh, yang terpenting adalah kesiapan menjadi pasangan dan orang tua yang sehat secara emosional.”
Konflik Rumah Tangga dan Dampaknya pada Anak
Dalam paparannya, Rosalita mengangkat dilema anak dalam masalah rumah tangga. Pengasuh Rubrik Konsultasi Hukum di Chanelmuslim.com ini menyampaikan bahwa dalam berbagai kasus hukum, terdapat empat persoalan besar yang selalu mengitari anak:
- Masalah perkawinan
- Perceraian
- Kematian
- Tindak pidana
Dari pengalamannya mendampingi kasus anak di unit PPA Polres, tindak pidana terhadap anak justru paling banyak muncul saat terjadi pertengkaran atau perceraian. Tidak jarang pelaku adalah orang terdekat — bahkan ayah kandung.
Hal yang menyedihkan lainnya adalah ketika anak tidak menjadi prioritas. Ada yang memperjuangkan hak asuh dengan ego, ada pula yang justru tidak ingin mengasuh sama sekali.
Baca juga: Hukum Manipulasi Data Pra Nikah
Perjanjian Perkawinan: Pentingkah?
Rosalita menegaskan:
“Apakah perjanjian perkawinan ini harus dibuat? Saya menganut harus dibuat secara tertulis.”
Namun kenyataannya, perjanjian perkawinan tidak populer, dan 70% gagal diterapkan. Dari 1–10 pasangan, mungkin hanya 2 yang berhasil menjalankannya sesuai kesepakatan.
Ketika perjanjian hanya lisan, maka berlaku prinsip:
kalau tertulis, tidak berubah — kalau tidak tertulis, berubah.
Banyak persoalan muncul karena sejak awal tidak membicarakan:
- Harta bersama atau pisah harta?
- Nafkah dan tanggung jawab?
- Hak asuh anak jika terjadi perceraian?
- Wasiat, waris, dan hibah?
Jika hal ini tidak dipahami sejak awal, persoalan akan menjadi “gunung es” yang muncul pada perceraian atau kematian.
Karena itu, Rosalita menyarankan agar perjanjian perkawinan didaftarkan ke notaris, KUA, dan pihak ketiga, agar sah di mata hukum.
Waspada, Terencana, dan Berpendidikan Hukum
Sebagai perempuan — terutama ibu — banyak dari kita disibukkan dengan keluarga sehingga belajar hukum terasa berat. Namun Rosalita mengajak agar pengetahuan hukum dibuat sederhana sehingga dapat dipahami semua orang.
Ia menegaskan bahwa orang tua harus memiliki kewaspadaan, kesepahaman, dan kesadaran hukum mengenai:
- Tindak pidana
- Hak dan kewajiban pasangan
- Perlindungan anak
- Dokumen hukum keluarga
Tanda anak menjadi korban tidak selalu berupa kata-kata — sering kali berupa perubahan perilaku.
Jika ditemukan dugaan kekerasan, langkah tepat adalah:
➡️ Konseling dengan tenaga profesional
➡️ Trauma healing yang berproses, bukan instan
Penutup
Membangun keluarga bukan hanya tentang cinta, tetapi juga tentang kesiapan hukum, mental, dan komitmen saling menghormati. Menghindari Labelling terhadap pasangan adalah bentuk penghormatan, perlindungan mental, dan investasi emosional untuk anak. Karena dalam hubungan rumah tangga, kata-kata bisa menjadi luka yang tak terlihat, tetapi dampaknya nyata.
Maka, berhentilah melakukan Labelling terhadap pasangan, karena Labelling terhadap pasangan termasuk KDRT dan dapat berkonsekuensi hukum serta merusak ketahanan keluarga.[ind]





