ChanelMuslim.com – Ketentuan aurat di hadapan anak angkat. Qadarullah, saya tidak punya anak kandung dan mengangkat anak laki-laki sejak bayi. Dibesarkan dan disayang layaknya anak sendiri.
Umur 6 tahun kami sudah kasih tahu status dia kalau bukan anak kandung. Alhamdulillaah kasih sayang saya dan suami tidak berubah. Nah sekarang anak saya sudah balig. Dia berarti bukan mahram saya. Pertanyaan saya:
1. Apakah di rumah saya selama berinteraksi dengan anak saya, harus menutup aurat penuh (seperti layaknya ke luar rumah)?
2. Sampai saat ini dia masih suka bermanja misal nempel sama saya dan sayapun sering membelai kepalanya layaknya seorang ibu.
Bagaimana ini Ustazah, apakah saya harus menghentikannya? Tapi di satu sisi, saya kasihan karena dia manja sekali sama saya. Mohon penjelasannya.
Baca Juga: Hukum Anak Angkat dalam Islam
Ketentuan Aurat di Hadapan Anak Angkat
Oleh: Ustazah Husna Hidayati, M.Hi.
Jawaban: Saudari yang dimuliakan Allah. Perlu diketahui bahwa anak angkat termasuk laki-laki ajnabi (bukan mahram) bagi wanita yang mengangkatnya sehingga berlaku baginya hukum laki-laki ajnabi sewaktu kecil dan setelah dewasa nanti.
Jika ia sudah balig/mendekati balig (paling lambat saat umurnya genap 15) tahun menurut hitungan hijriyah, jika memang belum menampakkan tanda balig seperti tumbuhnya rambut kasar di sekitar kemaluan, atau keluar mani, dan suara yang membesar, maka si wanita tersebut harus berhijab sempurna di hadapannya sebagaimana ia berhijab di hadapan lelaki ajnabi lainnya.
Jika ia belum balig namun sudah mumayyiz (umur 6 atau 7 tahun, ketika sudah faham diajak bicara dan menjawab ketika ditanya); maka kondisinya terbagi menjadi dua.
1. Dia belum memiliki syahwat terhadap wanita dan belum memiliki ketertarikan terhadap wanita, batasan aurat yang tidak boleh terlihat ialah antara pusar hingga Iutut.
2. Dia sudah memiliki syahwat atau ketertarikan terhadap wanita, maka bagian tubuh wanita yang boleh terlihat di hadapannya ialah seperti yang boleh terlihat di hadapan lelaki lain yang tergolong mahram bagi si wanita, yaitu: wajah, kepala, leher, tangan, telapak kaki, dan betis. Adapun selain itu, tidak boleh terlihat.
Jika ia belum mencapai usia mumayyiz (seperti umur 5 hingga 6 tahun) maka tidak ada aurat yang perlu ditutupi terhadapnya.
Diperbolehkan bagi ibu angkatnya menampakkan perhiasannya terhadap anak angkatnya yang masih kecil dan belum mengerti aurat laki-laki dan wanita atau belum memiliki syahwat terhadap lawan jenisnya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa taala:
Artinya: “Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” (QS. An Nuur: 31)
Adapun ketika anak itu telah sampai usia tamyiz, mengerti aurat atau telah memiliki syahwat terhadap lawan jenisnya, maka tidak diperbolehkan bagi ibu angkatnya menampakkan perhiasannya terhadap anak angkatnya itu.
Dalam hal ini, batasan aurat ibu angkatnya terhadap anak angkatnya sama dengan batasan auratnya terhadap mahramnya, yaitu seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali kepala, leher, wajah, tangan, siku, kaki.
Dan ketika anak angkatnya telah mencapai usia balig, maka hukumnya sama dengan laki-laki asing lainnya yang sudah balig yaitu diwajibkan bagi ibu angkatnya untuk mengenakan hijab (jilbab) dan menutup seluruh auratnya di hadapannya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa taala:
Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.” (QS. An Nuur: 31).
Pada masa anak angkat sudah mencapai usia balig, maka pergaulan terhadapnya sama seperti pergaulan terhadap orang asing yang telah berusia balig, dalam memandang, berbicara maupun bergaul.
Memang sepertinya apa yang disebutkan di atas adalah suatu keanehan yang tidak jarang memunculkan pertanyaan, di antaranya:
Bukankah ibu angkatnya yang telah mengurusinya sejak anak itu bayi sehingga dia bisa berdiri tegak, berlari, dan melakukan berbagai aktivitas sebagaimana layaknya anak-anak lain?
Bukankah orang tua angkatnya yang menggendongnya ketika ia bayi dan saat dirinya menangis atau merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya?
Bukankah orang tua angkatnya yang telah mengorbankan segalanya untuk kebahagiaan anak angkatnya itu?
Sesungguhnya hal demikian menjadi tampak aneh karena masyarakat kita telah terbiasa dengan berbagai kebiasaan yang salah sehingga ketika muncul sesuatu yang benar dan disyariatkan, hal itu menjadi aneh dalam pandangan mereka.
Oleh karena itu, menjadi tugas kita semua untuk meluruskan segala kekeliruan yang ada di masyarakat dan menggantikan nilai-nilai yang bersumber dari kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan syariat dengan yang bersumber dari Allah dan rasul-Nya.
Untuk itu, hendaklah setiap orang tua yang memiliki anak angkat memberikan penjelasan tentang dirinya secara perlahanlahan dan bertahap sehingga tidak menimbulkan kepanikan dalam diri anak itu ketika mengetahui kenyataan yang sesungguhnya.
Hendaknya pula dia mengajarkan anak angkatnya hal-hal yang berkaitan dengan prinsip pergaulan seorang muslim terhadap lawan jenisnya.
Sesungguhnya, anak angkat bukanlah bagian dari nasab ayah atau ibu angkatnya. Islam sendiri melarang menisbatkan anak angkat kepada orang tua asuhnya.
Larangan ini sesuai dengan firman Allah berikut ini:
Artinya: ” … dan Dia tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri), yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja. Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).” (QS. al ahzab: 4)
Juga hadis nabi berikut ini:
Artinya: Dari Abdullah bin Umar Radliallahu ‘anhuma bahwa Zaid bin Haritsah mantan budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa kami panggil dengan Zaid bin Muhammad hingga Allah menurunkan ayat:
“Panggillah dia dengan nama bapakbapaknya, karena hal itu lebih adil di sisi Allah.” (H.R Bukhari)
Artinya: “Dari Abu Umamah Al Bahili dia berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda di dalam khuthbahnya pada saat haji wada’; barangsiapa yang menasabkan dirinya kepada selain bapaknya, atau berwali kepada selain walinya, maka laknat Allah akan tertimpa atasnya hingga datangnya hari kiamat.”(HR. Tirmidzi)
Karena ia bukan dari nasabnya, setelah balig, ia adalah orang lain yang bukan mahramnya.
la tidak boleh membuka sebagian aurat di hadapan orang tua angkatnya atau berpelukan/berciuman dengan orang tua angkatnya.
Solusinya adalah, ketika anak angkat masih bayi, hendaknya ia disusui oleh ibu angkatnya.
(Dalam dunia medis sekarang ini sudah ada teknologi yang memungkinkan seorang wanita yang tidak melahirkan namun bisa memiliki air susu dengan perlakuan tertentu secara ilmiah).
Atau dapat juga disusukan pada keluarga orangtua angkatnya yang sedang menyusui sehingga tercapai syarat-syarat kemuhriman dengan persusuan.
Dengan demikian, ia menjadi anak susuan dan menjadi mahram secara permanen. Jika demikian, hal-hal yang diharamkan tadi menjadi halal. Wallahu a’lam.[ind/Sharia Consulting Center]