ChanelMuslim.com – Hukum menjadi broker. Sering kita mendengar istilah broker. Tugas broker adalah menjual informasi tentang apa yang dibutuhkan pembeli, lalu mendapatkan komisi.
Bagaimana komisi yang didapatkan broker, halal ataukah tidak? Simak bahasan berikut.
Oleh: Dr. Oni Sahroni
Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh. Ustaz, saya adalah seorang broker yang menjualkan produk pihak lain, seperti tiket dan rumah. Saya mendapatkan imbalan atas pemasaran dan transaksi yang berhasil dilakukan antara supplier dan konsmen.
Apakah kegiatan broker ini dibolehkan dan apa tuntunan syariahnya? Mohon penjelasannya, Ustaz. (Tsaqif, Pekalongan)
Baca Juga: Hukum Memelihara Anjing di Rumah
Hukum Menerima Komisi sebagai Broker
Waalaikumusallam wa rahmatullahi wa barakatuh. Kaidah dasarnya, menjadi seorang broker itu halal (diperblehkan) selama barangnya yang dipasarkannya halal, bisa diserahterimakan, serta kontrak antara broker dan pemanfaatan jasa jelas. Selain itu, kontrak antara pembeli dengan supplier itu jelas dan memenuhi ketentuan akadnya.
Detailnya bisa dijelaskan bahwa broker adalah mediator yang memfasilitasi transaksi antara supplier dan konsumen. Broker mendapatkan imbalan atau komisi atas jasanya sebagai broker, seperti broker tiket, perumahan, dan asuransi.
Dalam fikih akad, broker dikategorikan ikan wassit atau samasirah (akad wasathah dan akad samsarah). Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) mendefinisikannya sebagai berikut.
Akad wasathah adalah akad keperantaraan (brokerage) yang menimbulkan hak bagi perantara untuk memperoleh imbalan baik berupa keuntungan atau upah yang diketahui atas pekerjaan yang dilakukannya.
Sedangkan, akad bai’al al-samsarah (brokerage) adalah jasa perantara untuk menjual barang. Perantara berhak memperoleh pendapatan atas kelebihan harga jual dari harga yang disepakati sebelumnya (Fatwa DSN Nomor 93 Tahun 2013).
Baca Juga: Jika Benar Gunakan Jasa Broker, Diplomasi Indonesia Lemah
Profesi Broker Diperbolehkan
Profesi broker ini diperbolehkan dengan tiga ketentuan. Pertama, barang atau jasa yag dipasarkan oleh broker itu adalah broker tiket, broker asuransi syariah, dan broker properti itu diperbolehkan karena pada umumnya properti sebagai tempat tinggal, tiket sebagai alat transaksi, dan asuransi syariah sebagai alat mitigasi risiko itu diperbolehkan.
Sebab produk yang dipasarkan sebagai objek dan pendapatnya itu bertentangan dengan prinsip syariah.
Kedua, produk yang dipasarkan bisa diserahterimakan oleh penjual kepada pembeli. Oleh karena itu, produk yang tidak bisa diserahterimakan itu tidak boleh menjadi objek yang dipasarkan oleh seorang broker seperti mempromosikan tiket, padahal tiektnya mulai tidak bisa dimiliki oleh penjual.
Ketiga, pendapatan broker itu jelas dalam perjanjian yang disepakati bersama antara roker dan pemanfaatan jasa baik itu pemilik produk ataupun konsumen.
Dari aspek fikih, saat pendapatan broker adalah fee dengan nominal tertentu sebagai kompensasi atas setiap pemasaran yang dilakukannya baik mendapatkan konsumen atau tidak, maka perjanjian yang disepakati adalah ijarah (jual beli jasa). Hal ini sebagaimana Fatwa DSN MUI Nomor 112 tentang Ijarah.
Akan tetapi, jika pendapatannya berupa rewand yang didapatkan saat berhasil menggaet konsumen dan melakukan transaksi pembelian, merujuk kepada perjanjian ju’alah.
Imam Bukhari berkata,”Ibn Sirin. ‘Atha’, Ibrahim, dan al-Haan tidak mempermasalahkan ujrah atas samsarah.”
IbnAbbas berkata, ”Tidaklah mengapa seseorang berkata, juallah pakaian ini dengan harga sekian; adapun kelebihan dari harga tersebut untuk kamu atau untuk saya dan kamu, (dibagi sesuai kesepakatan) tidaklah mengapa.” (Dikutip oleh Sayyid Sabiq danalam Fikih Sunnah 3/100).
Hal ini seperti beberapa aktivitas para broker yang menunjukkan jasa tiket, maka broker mendapatkan imbalan atau fee. Namun, saat tidak berhasilmendapatkan konsumen maka ia tidak mendapatkan apa-apa.
Wallahu a’lam.[ind/Walidah]
Sumber: artikel ini telah dimuat di Harian Republika, 17 Maret 2021