BAGAIMANA hukum Itikaf di rumah? Ustaz Farid Nu’man Hasan, M.Ikom. menjelaskan tentang syarat dan ketentuan mengenai itikaf pada 10 malam terakhir bulan Ramadan.
Syarat sahnya i’tikaf bagi laki-laki adalah di masjid. Imam Ibnu Qudamah dan Al Hafizh Ibnu Hajar menyatakan itu telah ijma’, tidak ada perselihan.
Namun, Muhammad bin Umar bin Lubabah Al Maliki menyendiri dengan membolehkan i’tikaf di segala tempat.
Lalu, diikuti salah satu pendapat Syafi’iyyah dan Malikiyah bahwa pria dan wanita boleh i’tikaf di rumah, sebab ibadah sunnah afdolnya memang di rumah.
Bagi wanita, jumhur ulama mengatakan juga di masjid, kecuali menurut Hanafiyah yang membolehkan di rumahnya yaitu di tempat khusus ibadahnya, bukan di sembarang tempat di rumah.
Diqiyaskan dengan shalat, bahwa shalat wanita juga lebih utama di rumahnya.
Pada masa wabah, aktivitas ibadah di rumah lebih tepat disebut munajat dan khalwat, dan ini lebih aman karena bebas dari kontroversi.
Dibanding memaksakan disebut i’tikaf secara syar’i, sehingga memunculkan pro kontra.
Baca Juga: 10 Hari Terakhir Ramadan, Ini Fiqih Itikaf yang Perlu Kamu Ketahui
Hukum Itikaf di Rumah
Ada yang membolehkan i’tikaf di rumah dengan alasan darurat wabah. Padahal masih ada cara alternatif; munajat dan khalwat.
Maka, mengubah aturan i’tikaf secara syar’i menjadi “boleh di rumah” bisa jadi tidaklah diperlukan. Jika pun disebut i’tikaf, itu hanya secara bahasa saja.
Walau bisa saja mengikuti pendapat sebagian Syafi’iyah dan Malikiyah yang membolehkan i’tikaf di rumah bagi laki-laki.
Ditambah lagi jika merujuk ke Hanafiyah, rumah yang dimaksud adalah ruang di rumah yang memang sudah biasa dipakai buat ibadah.
Bukan sembarang ruangan yang sebelumnya adalah ruang keluarga, ruang tv, atau ruang apa pun yang multifungsi. Wallahu a’lam.
Referensi:
– Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 4/272
– Imam Ibnu Qudamah, al Mughni, 3/189
– al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah, 37/213
– Syaikh Abdurrahman al Juzairi, al Fiqhu ‘alal Madzahib al Arba’ah, 1/530
– Imam az Zurqani, Syarh’ alal Muwaththa’, 2/306
– Syaikh al Husein bin Muhammad Maghribi, al Badru at Tamam Syarh Bulugh al Maram, 5/148