SALAH satu nama pejuang wanita yang kerap disebut dalam tulisan atau perbincangan sejarah kemerdekaan Indonesia adalah Cut Nyak Dien.
Pejuang wanita dengan kebencian yang meluap-luap terhadap kolonial Belanda, hingga kondisinya yang sudah tidak berdaya pun, sama sekali tidak menyurutkan semangatnya melawan penjajah.
Cut Nyak Dien yang ditulis Madam Lulofs, seorang penulis dan jurnalis asal Belanda, berusaha menceritakan akar sejarah dan kehidupan sang ratu perang Aceh ini.
Pengalamannya pernah tinggal di wilayah Aceh, memberikan gambaran kondisi alam dan masyarakat yang cukup detail, baik dari pihak kolonial belanda dan rakyat Aceh.
Kondisi Aceh diceritakan dengan runut, dari kisah nenek moyang Cut Nyak Dien, Machudun Sati yang berseteru dengan Sultan Jeumaloy, hingga berlanjut anak keturunan Machudun yang berjuang untuk tanah Aceh.
Baca juga: Agar Bidadari Cemburu Padamu
Cut Nyak Dien, Kisah Ratu Perang Aceh
Di dalam buku ini, perseteruan tidak hanya antara kolonial dan rakyat Aceh, tetapi antar pemimpin mukim atau sagi. “Orang Aceh memang keras hati. Mereka tidak akan tentram sebelum musuhnya atau dia sendiri yang gugur dalam peperangan. Mereka tidak mau tunduk dengan sebenar-benarnya!”
Perjuangan rakyat Aceh dengan gerilya, yang disebut Perang Sabil bersama koalisi para pemimpinnya yang tetap tidak mau tunduk, juga mengalami pasang surut.
Namun, kekuatan filosofi dari Perang Sabil yang menjadikan perjuangan tersebut sebagai jihad, menjadikan sebagian rakyat dan pemimpin, termasuk Cut Nyak Dien pantang tunduk.
Meski buku ini tergolong novel sejarah, tetapi penulis tidak membuat kisahnya menjadi drama, tetapi lebih fokus pada segala lika liku dari perjuangan melawan penjajahan di tanah Aceh.
Dien, panggilan dari Cut Nyak Dien, tergambar sebagai wanita pemberani dengan pemikirannya yang keras, latar belakang adat dan agama yang kuat, serta kesantunannya kepada suami. Baik Teuku Ibrahim maupun Teuku Umar.
Sebagai putri dari pemimpin 6 Mukim, Ulubalang Nanta Setia, dari kecil Dien banyak mendengar permasalahan rakyat Aceh dari dialog ayahnya dengan pemimpin atau ulama yang kerap singgah di rumahnya.
“Dari situlah ia (Dien) menyadari kejahatan kaum kaphe (belanda) yang datang ke tanah Aceh dengan berpura-pura sebagai sahabat. Dien juga menyadari tekad orang Aceh yang besar untuk mempertahankan tanahnya dari orang kaphe itu.”
Meski berjudul Cut Nyak Dien, sebagian besar isi buku ini adalah sejarah perjuangan rakyat Aceh. Porsi kisah dari pejuang wanita ini tidaklah banyak, bahkan menjelang akhir cerita sosok Teuku Umar cukup menyita isi buku ini.
Selain itu, kehidupan Cut Nyak Dien setelah diasingkan juga tidak banyak diceritakan.
Minimnya referensi membuat penulis mengandalkan syair Dokarim yang termuat dalam Hikayat Perang Kumpeni dan wawancara dengan orang-orang yang pernah bersinggungan langsung dengan tokoh-tokoh Aceh.
Meski begitu, buku ini cukup bisa memberikan gambaran besar kondisi Perang Sabilullah.[Sdz]
Judul: Cut Nyak Dien; Kisah Ratu Perang Aceh
Penulis: Madelon H. Székely Lulofs
Penerbit: Komunitas Bambu
Penerjemah: Tim Penerjemah Kobam
Tebal: 301 hlm
Peresensi: Jendelaku Menatap Dunia