ChanelMuslim.com – Hukum menggunakan emas sebagai alat pembayaran. Apakah ada hadis Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, konsensus ulama, atau keputusan lembaga fikih yang mewajibkan emas sebagai alat pembayaran? Bagaimana apabila otoritas sudah menentukan rupiah sebagai alat pembayaran? Mohon penjelasan Ustaz.
Dr. Oni Sahroni (Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia) menjawab permasalahan ini sebagai berikut.
Tidak ada hadis Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, konsensus ulama, atau keputusan lembaga fikih/fatwa yang mewajibkan emas sebagai alat pembayaran.
Walhasil, kewenangan ada di tangan otoritas setiap negara untuk menentukan mata uang tertentu sebagai alat pembayaran.
Baca Juga: Kisah Guci Emas
Hukum Menggunakan Emas sebagai Alat Pembayaran
Saat otoritas telah menentukan rupiah sebagai alat pembayaran, maka mengikat masyarakat untuk menggunakannya. Kesimpulan ini bisa dijelaskan dalam poin-poin berikut.
Pertama, sesungguhnya tidak ada kewajiban untuk menjadikan emas sebagai alat pembayaran sebagaimana alasan berikut ini.
(a) Tidak ada hadis atau konsensus para ulama yang mewajibkan emas sebagai alat pembayaran.
Ibnu Hazm menjelaskan, “….dan tidak terdapat satu nash pun yang menyatakan bahwa uang harus terbuat dari emas dan perak.” (Al-Muhalla, 8/477).
(b) Walaupun Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menggunakan dinar (yang terbuat dari emas) sebagai alat pembayaran, tetapi itu tidak menjadi syariat yang harus dilakukan oleh umatnya.
Oleh karena itu, Umar bin Khattab radhiyallahu anhu pernah berinisiatif menjadikan kulit unta sebagai alat pembayaran (menggantikan emas).
Walaupun inisiatif tersebut urung dilaksanakan, tetapi menjadi bukti bahwa emas (alat pembayaran masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam) telah dipahami bukan satu-satunya alat pembayaran.
Sebagaimana dikutip dalam Tafsir al-Shan’ani, “Umar bin Khattab berkata; ‘Aku ingin membuat uang dari kulit unta’.
Kemudian, dikatakan kepadanya, ‘Kalau begitu, tidak akan ada lagi unta!’ Maka, Umar mengurungkan niatnya.” (3/93).
(c) Saat ini tidak ada keputusan lembaga fatwa nasional atau internasional yang menegaskan, mata uang di negara mereka itu harus diganti dengan emas.
Fakta ini sebagai ijtihad kolektif bahwa mata uang resmi setiap negara (termasuk rupiah) itu sah menurut syariah.
Lembaga Fikih OKI bahkan menegaskan, “Uang kertas memiliki karakteristik sebagai alat tukar secara sempurna…” (Keputusan no. 21 [3/9]).
(d) Pengertian uang menurut ahli fikih, di antaranya, “Uang adalah sesuatu yang dijadikan harga oleh masyarakat baik logam atau kertas yang dicetak atau lainnya yang diterbitkan oleh otoritas.” (Rawas, Mu’amalat Maliyah, h. 23).
Wahbah az-Zuhaily berkata, “Uang adalah sesuatu yang digunakan sebagai media pertukaran yang mencerminkan harga dan ukuran nilai”. (Wahbah, Mu’amalat Maliyah).
Baca Juga: Hukum Mata Uang Kripto yang Tidak Berstandarkan Harta
Kedua, saat tidak ada nash, ijma’, dan ijtihad kolektif yang mewajibkan emas sebagai alat pembayaran, selanjutnya yang berlaku adalah kaidah siyasah syar’iyah, yaitu saat otoritas mewajibkan satu mata uang, seperti rupiah sebagai alat pembayaran resmi, maka itu mengikat untuk digunakan.
Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Sesungguhnya referensi dirham dan dinar adalah tradisi masyarakat karena yang menjadi referensi bukan fisik dirham dan dinar, melainkan dirham dan dinar menjadi standar barang yang menjadi objek transaksi.” (Majmu’ Fatawa, 29/251).
Dalam hal ini, otoritas sudah mengatur dalam regulasinya, di antaranya, “Rupiah wajib digunakan dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Wilayah NKRI.
Kewajiban tidak berlaku bagi transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, penerimaan, atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri, transaksi perdagangan internasional, simpanan di bank dalam bentuk valuta asing; atau transaksi pembiayaan internasional”. (UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Pasal 21).
Ketiga, menjadi tuntunan fikih prioritas dan dakwah, saat ada semangat (ghirah) penggunaan dinar sebagai alat pembayaran, maka sebaiknya semangat yang positif tersebut disalurkan dalam kiprah di ruang-ruang ekosistem ekonomi syariah yang masih banyak belum terpenuhi.
Misalnya, menyediakan industri halal, memperbesar marketshare bank syariah, dan menyelesaikan masalah sosial para dhuafa.[ind]
sumber: Republika