SAHABAT, sebentar lagi Ramadan kan menjelang, para ulama menganjurkan untuk berpuasa bersama mayoritas manusia dan berhari raya bersama pemerintah.
Hal ini dijelaskan oleh Ustaz Farid Nu’man Hasan, S.S. sebagai berikut. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ, وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ, وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa itu adalah di hari kalian (umat Islam) berpuasa, hari raya adalah pada saat kalian berhari raya, dan berkurban/Idul Adha di hari kalian berkurban.”
(HR. At Tirmidzi no. 697, Ibnu Majah No. 1660, Ad Dailami No. 3819, Ad Daruquthni 2/164, Musnad Asy Syafi’i No. 315, Imam At Tirmidzi mengatakan: hasan gharib.
Syaikh Al Albani mensahihkan dalam Ash Shahihah No. 224)
Baca Juga: 5 Cara Mengajak Anak untuk Berpuasa
Berpuasa dan Berhari Raya bersama Pemerintah dan Mayoritas Manusia
Hadits ini menjelaskan bahwa hendaknya kita berpuasa, Idul Fitri, dan Idul Adha ketika manusia melakukannya, jangan menyendiri.
Imam At Tirmidzi menjelaskan:
وَفَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ هَذَا الْحَدِيثَ فَقَالَ إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ الصَّوْمَ وَالْفِطْرَ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَعُظْمِ النَّاسِ
“Dan sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini, mereka berkata: makna hadits ini adalah berpuasa dan berbuka adalah bersama jama’ah dan mayoritas orang (Ummat Islam).” (Ibid)
Imam Al Munawi berkata:
أي الصوم والفطر مع الجماعة وجمهور الناس
Yaitu berpuasa dan berbuka bersama jamaah dan mayoritas manusia. (At Taisir bisyarhi Al jami’ Ash Shaghir, 2/208)
Imam Al Munawi mengutip dari Imam Ad Dailami dalam kitab Musnad Firdaus sebagai berikut:
قال في الفردوس : فسره بعض أهل العلم فقال : الصوم والفطر والتضحية مع الجماعة ومعظم الناس.
Berkata di dalam Al Firdaus: sebagian ulama menafsirkan, katanya: “Puasa, Idul fitri, dan Idul adha bersama jamaah dan mayoritas manusia.” (Faidhul Qadir, 4/320)
Fatwa ulama Arab Saudi sendiri pada lembaga fatwa Al Lajnah Ad Daimah, tentang sekelompok manusia yang berpuasa, beridul fitri, dan idul adha-nya berbeda dengan orang-orang kebanyakan,
lantaran tidak mengikuti ru’yah di negerinya, justru Lajnah Daimah menganjurkan berhari raya bersama manusia di negerinya masing-masing. Fatwa tersebut:
يجب عليهم أن يصوموا مع الناس ويفطروا مع الناس ويصلوا العيدين مع المسلمين في بلادهم…
Wajib atas mereka berpuasa bersama manusia, beridul fitri bersama manusia, dan shalat idain (Idul fitri dan Idul Adha) bersama kaum muslimin di negeri mereka. … (Al Khulashah fi Fiqhil Aqalliyat, 4/31)
Baca Juga: Ini Usia Ideal Anak Diajak Berpuasa
Cara Menetapkan Puasa jika Terjadi Perbedaan
Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah:
سئل فضيلة الشيخ – رحمه الله تعالى -: إذا اختلف يوم عرفة نتيجة لاختلاف المناطق المختلفة في مطالع الهلال فهل نصوم تبع رؤية البلد التي نحن فيها أم نصوم تبع رؤية الحرمين؟
فأجاب فضيلته بقوله: هذا يبنى على اختلاف أهل العلم: هل الهلال واحدفي الدنيا كلها أم هو يختلف باختلاف المطالع؟ والصواب أنه يختلف باختلاف المطالع، فمثلاً إذا كان الهلال قد رؤي بمكة، وكان هذا اليوم هو اليوم التاسع، ورؤي في بلد آخر قبل مكة بيوم وكان يوم عرفة عندهم اليوم العاشر فإنه لا يجوز لهم أن يصوموا هذا اليوم لأنه يوم عيد، وكذلك لو قدر أنه تأخرت الرؤية عن مكة وكان اليوم التاسع في مكة هو الثامن عندهم، فإنهم يصومون يوم التاسع عندهم الموافق ليوم العاشر في مكة، هذا هو القول الراجح، لأن النبي صلى الله عليه وسلم يقول: «إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا» وهؤلاء الذين لم يُر في جهتهم لم يكونوا يرونه، وكما أن الناس بالإجماع يعتبرون طلوع الفجر وغروب الشمس في كل منطقة بحسبها، فكذلك التوقيت الشهري يكون كالتوقيت اليومي.
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya: jika terjadi perbedaan hari Arafah disebabkan oleh perbedaan negara yang berbeda mathla’ hilal-nya apakah kita berpuasa mengikuti ru’yah negara tempat kita berada, ataukah mengikuti ru’yah Haramain (Makkah dan Madinah)?
Syaikh yang mulia menjawab:
Jawaban pertanyaan ini adalah berdasarkan perbedaan pendapat ulama, apakah ru’yah hilal itu satu di seluruh dunia ataukah berbeda menurut perbedaan mathali’ (tempat terbitnya hilal)?
Yang benar adalah ru’yah itu berbeda sesuai perbedaan mathali’. Misalnya jika hilal telah di-ru’yat di Makkah dan tanggal hari ini di Makkah adalah tanggal 9 Dzulhijjah,
lalu di negeri lain hilal telah dilihat sehari sebelum ru’yat Makkah, sehingga hari ini di tempat itu adalah tanggal 10 Dzulhijjah,
maka penduduk negeri tersebut tidak boleh berpuasa hari ini karena bagi mereka ini adalah Idul Adha.
Begitu juga jika ditakdirkan hilal terlihat di negeri tersebut sehari setelah ru’yah di Makkah, sehingga tanggal 9 di Makkah adalah tanggal 8 di negeri mereka,
maka mereka tetap berpuasa esok hari (tanggal 9 di negeri mereka) bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah di Makkah. Inilah pendapat yang raajih (kuat).
Karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika kamu melihatnya (hilal), maka berpuasalah, dan jika kamu melihatnya maka berhari rayalah).
Mereka yang di negerinya hilal belum muncul tidak bisa melihatnya, sebagaimana manusia (kaum muslimin) sepakat bahwa mereka menggunakan terbit fajar dan terbenamnya matahari sendiri-sendiri
sesuai lokasi negeri mereka, begitu pula dengan penetapan waktu bulanan ia seperti penetapan waktu harian. (Majmu’ Fatawa wa Rasail No. 405. Darul Wathan – Dar Ats Tsarayya)
Baca Juga: 4 Cara Perbaiki Kualitas Tidur Saat Berpuasa
Menetapkan Hari Raya atas dasar Kebersamaan Manusia
Imam Ash Shan’ani mengatakan dengan tegas:
فيه دليل على أنه يعتبر في ثبوت العيد الموافقة للناس وأن المنفرد بمعرفة يوم العيد بالرؤية يجب عليه موافقة غيره ويلزمه حكمهم في الصلاة والإفطار والأضحية. وقد أخرج الترمذي مثل هذا الحديث عن أبي هريرة وقال: حديث حسن. وفي معناه حديث ابن عباس وقد قال له كريب: إنه صام أهل الشام ومعاوية برؤية الهلال يوم الجمعة بالشام وقدم المدينة آخر الشهر وأخبر ابن عباس بذلك فقال ابن عباس: لكنا رأيناه ليلة السبت فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين أو نراه قال: قلت: أولا تكتفي برؤية معاوية والناس؟ قال: لا هكذا أمرنا رسول الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم.
“Pada hadits ini, ada dalil bahwa yang diambil ‘ibrah dalam menetapkan hari raya adalah kebersamaan manusia. Dan bahwasanya seorang yang menyendiri dalam mengetahui masuknya hari raya
dengan melihat hilal tetap wajib mengikuti kebanyakan manusia. Hukum ini harus dia ikuti, apakah dalam waktu shalat, ber-idul Fithri atau pun berkurban (Idul Adha).
At Tirmidzi telah meriwayatkan yang serupa dengan ini dari Abu Hurairah, dan dia berkata: hadits hasan. Dan semakna dengan ini adalah hadits Ibnu Abbas,
ketika Kuraib berkata kepadanya, bahwa penduduk Syam dan Muawiyah berpuasa berdasarkan melihat hilal pada hari Jumat di Syam.
Beliau datang ke Madinah pada akhir bulan dan mengabarkan kepada Ibnu Abbas hal itu, maka Ibnu Abbas berkata kepadanya:
“tetapi kami melihatnya (hilal) pada Sabtu malam, maka kami tidak berpuasa sampai sempurna tiga puluh hari atau kami melihatnya.”
Aku berkata: “Tidakkah cukup ru’yah-nya Mu’awiyah dan manusia?” Ibnu Abbas menjawab: “Tidak, inilah yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada kami.” (Subulus Salam, 2/63)
Baca Juga: Berpuasa saat Safar
Penetapan Awal Berpuasa bukan di Tangan Individu
Imam Abul Hasan As Sindi menyebutkan dalam Hasyiah As Sindi ‘Ala Ibni Majah:
وَالظَّاهِر أَنَّ مَعْنَاهُ أَنَّ هَذِهِ الْأُمُور لَيْسَ لِلْآحَادِ فِيهَا دَخْل وَلَيْسَ لَهُمْ التَّفَرُّد فِيهَا بَلْ الْأَمْر فِيهَا إِلَى الْإِمَام وَالْجَمَاعَة وَيَجِب عَلَى الْآحَاد اِتِّبَاعهمْ لِلْإِمَامِ وَالْجَمَاعَة وَعَلَى هَذَا فَإِذَا رَأَى أَحَد الْهِلَال وَرَدَّ الْإِمَام شَهَادَته يَنْبَغِي أَنْ لَا يَثْبُت فِي حَقّه شَيْء مِنْ هَذِهِ الْأُمُور وَيَجِب عَلَيْهِ أَنْ يَتْبَع الْجَمَاعَة فِي ذَلِكَ
“Jelasnya, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan awal Ramadan, Idul Fithri dan Idul Adha, pen) keputusannya bukanlah di tangan individu.
Tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Permasalahan semacam ini bahkan dikembalikan kepada pemimpin (imam) dan mayoritas umat Islam.
Dalam hal ini, setiap individu pun wajib untuk mengikuti penguasa dan mayoritas umat Islam. Maka jika ada seseorang yang melihat hilal namun penguasa menolak persaksiannya,
sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.” (Hasyiah As Sindi ‘Ala Ibni Majah, 3/431)
Apa yang dikatakan oleh Imam Abul Hasan As Sindi, bahwa penentuan masuknya Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha merupakan domain dan wewenang pemerintah, tidak berarti mematikan potensi umat dan ormas.
Mereka boleh saja memberikan masukan dan pertimbangan kepada pemerintah tetapi keputusan terakhir tetap di tangan pemerintah, dan hendaknya mereka legowo menerimanya,
sebagai bukti bagusnya adab hidup berjamaah.
Baca Juga: Hukum Berpuasa setelah Nisfu Sya’ban
Misi Mempersatukan Umat
Syaikh Al Albani berkata – dan ini adalah komentar yang sangat bagus darinya:
و هذا هو اللائق بالشريعة السمحة التي من غاياتها تجميع الناس و توحيد صفوفهم ، و إبعادهم عن كل ما يفرق جمعهم من الآراء الفردية ، فلا تعتبر الشريعة رأي الفرد – و لو كان صوابا في وجهة نظره – في عبادة جماعية كالصوم و التعبيد و صلاة
الجماعة ، ألا ترى أن الصحابة رضي الله عنهم كان يصلي بعضهم وراء بعض و فيهم من يرى أن مس المرأة و العضو و خروج الدم من نواقض الوضوء ، و منهم من لا يرى ذلك ، و منهم من يتم في السفر ، و منهم من يقصر ، فلم يكن اختلافهم هذا و غيره
ليمنعهم من الاجتماع في الصلاة وراء الإمام الواحد ، و الاعتداد بها ، و ذلك لعلمهم بأن التفرق في الدين شر من الاختلاف في بعض الآراء ، و لقد بلغ
الأمر ببعضهم في عدم الإعتداد بالرأي المخالف لرأى الإمام الأعظم في المجتمع الأكبر كمنى ، إلى حد ترك العمل برأيه إطلاقا في ذلك المجتمع فرارا مما قد ينتج من الشر بسبب العمل برأيه ، فروى أبو داود ( 1 / 307 ) أن عثمان رضي الله عنه صلى بمنى
أربعا ، فقال عبد الله بن مسعود منكرا عليه : صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم ركعتين ، و مع أبي بكر ركعتين ، و مع عمر ركعتين ، و مع عثمان صدرا من إمارته ثم أتمها ، ثم تفرقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين متقبلتين ، ثم إن
ابن مسعود صلى أربعا ! فقيل له : عبت على عثمان ثم صليت أربعا ؟ ! قال : الخلاف شر . و سنده صحيح . و روى أحمد ( 5 / 155
) نحو هذا عن أبي ذر رضي الله عنهم أجمعين . فليتأمل في هذا الحديث و في الأثر المذكور أولئك الذين لا يزالون يتفرقون في صلواتهم ، و لا يقتدون ببعض أئمة المساجد ، و خاصة في صلاة الوتر في رمضان ، بحجة كونهم على خلاف مذهبهم ! و بعض
أولئك الذين يدعون العلم بالفلك ، ممن يصوم و يفطر وحده متقدما أو متأخرا عن جماعة المسلمين ، معتدا برأيه و علمه ، غير مبال بالخروج عنهم ، فليتأمل هؤلاء جميعا فيما ذكرناه من العلم ، لعلهم يجدون شفاء لما في نفوسهم من جهل و غرور ، فيكونوا
صفا واحدا مع إخوانهم المسلمين فإن يد الله مع الجماعة .
“Inilah yang sesuai dengan syariat (Islam) yang toleran, yang di antara misinya adalah mempersatukan umat manusia, menyatukan barisan mereka serta menjauhkan mereka
dari segala pendapat pribadi yang memicu perpecahan. Syariat ini tidak mengakui pendapat pribadi –meski menurut yang bersangkutan benar–
dalam ibadah yang bersifat kebersamaan seperti; shaum, Id, dan shalat berjamaah. Tidakkah engkau melihat bahwa sebagian sahabat Radhiallahu ‘Anhum shalat bermakmum di belakang sahabat lainnya,
padahal sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, dan keluarnya darah dari tubuh termasuk pembatal wudhu, sementara yang lainnya tidak berpendapat demikian?!
Sebagian mereka ada yang shalat secara sempurna dalam safar dan di antara mereka pula ada yang meng-qashar-nya.
Namun, perbedaan itu tidaklah menghalangi mereka untuk melakukan shalat berjamaah di belakang seorang imam dan tetap berkeyakinan bahwa shalat tersebut sah.
Hal itu karena adanya pengetahuan mereka bahwa bercerai-berai dalam urusan agama lebih buruk daripada sekadar berbeda pendapat.
Sebagian mereka bahkan mendahulukan pendapat penguasa daripada pendapat pribadinya pada saat berkumpulnya manusia seperti di Mina.
Hal itu semata-mata untuk menghindari kesudahan buruk (terjadinya perpecahan) bila dia tetap mempertahankan pendapatnya.
Baca Juga: Ini Usia Ideal Anak Diajak Berpuasa
Kisah Sahabat saat Terjadi Perbedaan Pendapat
Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud (1/307), bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan Radhiallahu ‘Anhu shalat di Mina 4 rakaat.
Maka shahabat Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu mengingkarinya seraya berkata: “Aku dulu shalat bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Bakr, ‘Umar dan di awal pemerintahan ‘Utsman 2 rakaat,
dan setelah itu ‘Utsman shalat 4 rakaat. Kemudian terjadilah perbedaan di antara kalian, dan harapanku dari 4 rakaat shalat itu yang diterima adalah yang 2 rakaat darinya.”
Namun ketika di Mina, shahabat Abdullah bin Mas’ud justru shalat 4 rakaat. Maka dikatakanlah kepada beliau:
“Engkau telah mengingkari ‘Utsman atas shalatnya yang 4 rakaat, kemudian engkau shalat 4 rakaat pula?!” Abdullah bin Mas’ud berkata: “Perselisihan itu jelek.” Sanadnya shahih.
Diriwayatkan pula oleh Al Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhum Ajma’in.
Hendaknya hadits dan atsar ini benar-benar dijadikan bahan renungan oleh orang-orang yang selalu berpecah-belah dalam urusan shalat mereka serta tidak mau bermakmum kepada sebagian imam masjid,
khususnya shalat witir di bulan Ramadan dengan dalih bahwa keadaan para imam itu beda dengan madzhab mereka!
Baca Juga: Rahasia Sederhana Atasi Bau Mulut saat Berpuasa
Demikian pula orang-orang yang bershaum dan berbuka sendiri, baik mendahului mayoritas kaum muslimin atau pun mengakhirkannya dengan dalih mengerti ilmu falaq,
tanpa peduli harus berseberangan dengan kebanyakan kaum muslimin. Hendaknya mereka semua mau merenungkan ilmu yang telah kami sampaikan ini.
Dan semoga ini bisa menjadi obat bagi kebodohan dan kesombongan yang ada pada diri mereka. Dengan harapan agar mereka selalu dalam satu barisan bersama saudara-saudara mereka kaum muslimin,
karena tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama Al Jama’ah.” (As Silsilah Ash Shahihah, 1/389)
Wallahu a’lam.[ind]