BAGAIMANA hukum berpuasa setelah nisfu Sya’ban? Ustaz Farid Nu’man Hasan, S.S. menjelaskan, hadis larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban memang ada, yaitu sebagai berikut.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَأَمْسِكُوا عَنْ الصَّوْمِ حَتَّى يَكُونَ رَمَضَانُ
Jika sudah pada separuh bulan Sya’ban, maka janganlah kalian berpuasa hingga masuk bulan Ramadan.
Baca Juga: Hukum Tidak Membayar Puasa Sampai Datang Puasa Berikutnya
Dalil Hukum Berpuasa setelah Sya’ban
Hadits ini dan -yang semisalnya- diriwayatkan oleh:
-Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 9707
– Imam Abu Daud dalam Sunannya No. 2337
– Imam At Tirmidzi dalam Sunannya No. 738
– Imam An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 2911
– Imam Ibnu Majah dalam Sunannya No. 6151
– Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 3589
– Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Awsath No. 1936
– Imam Al Baihaqi dalam AAs Sunan Al Baihaqi No.7750
– Imam Ad Darimi dalam Sunannya No. 1740
– Imam Abu ‘Uwanah dalam Musnadnya No. 2710
– Imam Abu Ja’far Ath Thahawi dalam Syarh Ma’anil Aatsar, 2/82
– Imam Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf, 3/21
– Imam Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 7325
– Imam Ad Dailami dalam Musnad Firdaus No. 1006
Semua sanad hadis ini berasal dari: Al ‘Ala bin Abdurrahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah.
Tentang kesahihan hadis ini, para ulama berbeda pendapat.
Pihak yang Mensahihkan Hukum Berpuasa setelah Nisfu Sya’ban
– Imam At Tirmidzi mengatakan: hasan shahih. (Sunan At Tirmidzi No. 738)
– Imam Ibnu Hibban memasukkan hadits ini dalam kitab Sahihnya, maka menurutnya ini adalah sahih. (Sahih Ibni Hibban No. 3589)
– Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menyatakan sahih dalam berbagai kitabnya. (Sahih Abi Daud No. 2025, Sahih Ibni Majah No. 1651, Tahqiq Misykah Al Mashabih No. 1973, Ar Raudh An Nadhiir No. 643, dll)
– Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan sahih. (Ta’liq Musnad Ahmad No. 9707)
– Syaikh Ibnu Baaz juga mensahihkan. (Majmu’ Fatawa, 15/385)
Baca Juga: Hukum Berpuasa pada Bulan Rajab
Pihak yang Men-dhaif-kan
– Imam Ahmad dan Imam Yahya bin Ma’in berkata: hadits ini munkar! (Mir’ah Al Mafatih, 6/441, Ta’liq Musnad Ahmad No. 9707)
– Imam Abdurrahman bin Al Mahdi juga mengingkari riwayat Al ‘Ala bin Abdirrahman ini. (Syaikh Abdul Aziz bin Marzuq Ath Thuraifi, Syarh Bulughul Maram, Hlm. 47)
– Imam Abu Zur’ah dan Imam Al Atsram juga menyatakan munkar. (Lathaif Al Ma’arif, Hlm. 151)
Nah, perbedaan dalam menilai kesahihannya tentu berdampak pada berbeda pula dalam mengamalkannya. Bagi pihak yang men-dhaif-kan tentu sama sekali tidak masalah berpuasa setelah 15 Sya’ban.
Bagi yang mensahihkan tentu mereka melarang berpuasa setelah 15 Sya’ban, yaitu larangan dengan makna makruh.
Imam Ibnu Rajab Al Hambali Rahimahullah berkata:
صححه الترمذي و غيره و اختلف العلماء في صحة هذا الحديث ثم في العمل به : فأما تصحيحه فصححه غير واحد منهم الترمذي و ابن حبان و الحاكم و الطحاوي و ابن عبد البر و تكلم فيه من هو أكبر من هؤلاء و أعلم و قالوا : هو حديث منكر منهم ابن المهدي و الإمام أحمد و أبو زرعة الرازي و الأثرم و قال الإمام أحمد : لم يرو العلاء حديثا أنكر منه
Disahihkan oleh At Tirmidzi dan selainnya. Para ulama berbeda pendapat tentang kesahihan hadis ini, kemudian berbeda pula tentang mengamalkan hadis ini.
Ada pun pihak yang mensahihkan adalah lebih dari satu orang, di antaranya At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Ath Thahawi, dan Ibnu Abdil Bar.
Hadis Munkar tentang Hukum Berpuasa setelah Nisfu Sya’ban
NAMUN HADIS INI DIPERBINCANGKAN OLEH PARA IMAM YANG LEBIH BESAR DAN LEBIH BERILMU DIBANDING MEREKA, mereka mengatakan: ini adalah hadis munkar.
Mereka adalah Ibnu Al Mahdi, Imam Ahmad, Abu Zur’ah Ar Razi, dan Al Atsram. Imam Ahmad berkata: “Al ‘Ala tidak pernah meriwayatkan hadis yang lebih munkar dari ini.” (Lathaif Al Ma’arif, Hlm. 151)
Sebagian ulama yang melarang berpuasa setelah 15 Sya’ban mengatakan bahwa makruhnya hal ini karena dikhawatirkan melemahkan pelakunya
karena dia berpuasa sepanjang bulan dan akan berpuasa lagi ketika Ramadan nanti,
serta dikhawatirkan dia telah menyambung dua bulan puasa secara berturut-turut, padahal tidak ada puasa full kecuali hanya Ramadan.
Jika tidak melemahkan badan, dan tidak pula dia menyambungkannya, maka tidak apa-apa berpuasa setelah 15 Sya’ban.
Atau, kemakruhannya adalah jika dia berpuasa setelah 15 Sya’ban itu dilakukan sengaja dan tanpa sebab, tanpa didahului oleh puasa pada hari sebelumnya, dan sekadar ingin berpuasa saja.
Sedangkan jika ada sebab seperti Senin Kamis, puasa Daud, atau dia sudah terbiasa berpuasa maka tidak apa-apa.
Tidak Ada Perbedaan Signifikan
Pada titik ini, sebenarnya tidak ada perbedaan signifikan dengan para ulama yang membolehkan, mereka pun hampir mengatakan serupa.
Pihak yang memakruhkan, seperti Imam Mulla Ali Al Qari Rahimahullah berkata:
والنهي للتنزيه رحمة على الأمة أن يضعفوا عن حق القيام بصيام رمضان على وجه النشاط ، وأما من صام شعبان كله فيتعود بالصوم ويزول عنه الكلفة. ولذا قيد بالإنتصاف أو نهي عنه لأنه نوع من التقدم والله أعلم.
Larangan hanya menunjukkan makruh tanzih, sebagai kasih sayang untuk umat yaitu mereka dapat mengalami kelemahan untuk menjalankan shalat malam ketika Ramadan yang begitu giat dilaksanakan.
Ada pun bagi orang yang berpuasa Sya’ban keseluruhannya maka pembiasaan itu dengan berpuasa bisa menghilangkan taklif-nya Ramadan.
Oleh karenanya, berpuasa setengah bulan itu atau larangannya, terikat oleh hal ini, karena hal itu (berpuasa setengah bulan setelah 15 Sya’ban) termasuk jenis larangan “mendahulukan berpuasa” ketika menjelang Ramadan.
Wallahu A’lam. (Mirqah Al Mafatih, 6/280)
Maksud larangan mendahulukan puasa ketika menjelang Ramadan adalah hadis berikut:
لَا يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ
“Janganlah salah seorang kalian mendahulukan Ramadan dengan puasa sehari atau dua hari, kecuali bagi seseorang yang sedang menjalankan puasa kebiasaannya, maka puasalah pada hari itu.” (HR. Bukhari No. 1815)
Mulla Ali Al Qari berkata lagi – Beliau mengutip dari Al Qadhi ‘Iyadh, katanya:
المقصود استجمام من لا يقوى على تتابع الصيام فاستحب الإفطار كما استحب إفطار عرفة ليتقوى على الدعاء فأما من قدر فلا نهي له ولذلك جمع النبي بين الشهرين في الصوم اه وهو كلام حسن لكن يخالف مشهور مذهبه أن الصيام بلا سبب بعد نصف شعبان مكروه
Maksudnya adalah memberikan keringanan bagi orang yang tidak kuat puasa berturut-turut, maka dianjurkan baginya untuk tidak berpuasa,
sebagaimana orang yang sedang wukuf di Arafah dianjurkan tidak berpuasa agar dia kuat berdoa.
Ada pun bagi orang yang mampu melakukannya maka tidak ada larangan baginya. Oleh karenanya, Nabi pun menggabungkan puasa selama dua bulan, dst. (Ali Al Qari berkata):
ini adalah komentar yang bagus, tetapi berselisih dengan mazhabnya sendiri bahwasanya berpuasa tanpa sebab dilakukan setelah 15 Sya’ban adalah makruh. (Ibid)
Imam Al Mundziri Rahimahullah berkata – dan beliau termasuk yang membolehkan puasa Sya’ban setelah tanggal 15:
من قال إن النهي عن الصيام بعد النصف من شعبان لأجل التقوى على صيام رمضان والاستجمام له ، فقد أبعد. فإن نصف شعبان إذا أضعف كان كل شعبان أحرى أن يضعف ، وقد جوز العلماء صيام جميع شعبان.
Barang siapa yang mengatakan bahwa larangan berpuasa setelah 15 Sya’ban adalah disebabkan kekuatan utuk puasa Ramadan dan meringankannya, maka itu adalah pemahaman yang jauh.
Jika memang setengah Sya’ban itu bisa melelahkan, maka berpuasa pada seluruh Sya’ban adalah lebih pantas untuk melemahkan. Para ulama telah membolehkan berpuasa pada seluruh hari Sya’ban.
(Syaikh Waliyuddin At Tibrizi, Misykah Al Mashabih, 6/874)
Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki Rahimahullah berkata:
قال بعض أئمتنا: يجوز بلا كراهة الصوم بعد النصف مطلقاً تمسكاً بأ
ن الحديث غير ثابت أو محمول على من يخاف الضعف بالصوم
Sebagian imam kami berkata: dibolehkan secara mutlak dan tidak makruh berpuasa setelah separuh Sya’ban, berdasarkan dalil bahwa hadis yang melarangnya adalah tidak tsabit (kuat),
atau (kalau pun kuat, pen) maknanya adalah makruh bagi orang yang menjadi lemah dengan puasanya tersebut. (Ibid)
Syaikh Abdul Aziz Ar Rajihi Hafizhahullah berkata:
وحديث العلاء يدل على المنع من تعمد الصوم بعد النصف, لا لعادة، ولا مضافا إلى ما قبله
Hadis Al ‘Ala ini menunjukkan larangan menyengaja berpuasa setelah saparuh Sya’ban padahal puasa bukan kebiasaan dia, dan bukan pula sebagai tambahan dari sebelumnya.
(Al Ilmam bisy Syai’ min Ahkamish Shiyam, Hlm. 6)
Syaikh Ibnu Baaz Rahimahullah juga berkata:
والمراد به النهي عن ابتداء الصوم بعد النصف ، أما من صام أكثر الشهر أو الشهر كله فقد أصاب السنة
Maksud dari larangan ini adalah memulai puasa setelah separuh Sya’ban, ada pun berpuasa lebih dari sebulan atau sebulan penuh maka itu sesuai dengan sunah. (Majmu’ Fatawa, 15/385)
Baca Juga: Menunda Qadha Puasa Tahun Lalu, Bagaimana Cara Membayarnya?
Kesimpulan Hukum Berpuasa setelah Nisfu Sya’ban
Dengan memadukan semua pandangan ulama ini, kesimpulannya:
– Hadis ini diperselisihkan kesahihannya, pihak yang mensahihkan dan men-dhaif-kan adalah imam besar pada zamannya, namun pihak yang men-dhaif-kan adalah ulama yang lebih besar dan berilmu,
sebagaimana kata Imam Ibnu Rajab.
– Seandainya pun sahih, larangan ini bermakna makruh, bukan haram.
– Larangan terjadi jika hal itu membuat pelakunya lemah ketika memasuki Ramadan
– Larangan juga berlaku bagi orang yang tidak terbiasa puasa, namun sekalinya berpuasa dia menyengaja melakukannya pada hari setelah separuh Sya’ban, tanpa dia dahului berpuasa pada hari-hari sebelumnya.
– Makruhnya juga bagi orang yang melakukannya tanpa sebab.
– Jadi, puasa setelah separuh Sya’ban adalah boleh bagi:
1. yang memang sudah terbiasa puasa lalu kebiasaannya itu diteruskan ketika setelah 15 hari Sya’ban,
2. Yang melakukannya karena sebab khusus seperti Senin Kamis, dan puasa Daud.
Sekian. Wallahu A’lam. Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi Ajma’in.[ind]