MENCIPTAKAN dan menjaga masyarakat yang bersih dari tindakan keji adalah tugas bersama. Laki-laki dan perempuan perlu bekerjasama untuk mewujudkannya.
Hal dimulai dari menjaga interaksi antara keduanya dengan pedoman yang telah ditetap oleh Al-Qur’an. Pada ayat surah An-Nur ayat 30-31 Allah menjelaskan aturan dan pedoman tersebut,
”Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30)
Bukan hanya laki-laki saja yang dituntut demikian, namun perempuan juga. Bahkan mereka juga mesti menjaga adab berpakaian lebih dari laki-laki.
Yaitu dengan melonggarkan pakaiannya dan mengenakan jilbab,
”Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan menjaga kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka atau ayah suami mereka… dst” (QS. An-Nur: 31)
Baca Juga: An-Nur Ayat 4-10, Hukuman Bagi Orang yang Menuduh Orang Lain Berzina
An-Nur Ayat 30-31, Laki-Laki dan Perempuan Bekerjasama Menjaga Kebersihan Sosial
DR. Syaiful Bahri, M.A menjelaskan bahwa hal ini dimaksudkan untuk menjaga kebersihan sosial masyarakat dari bahaya kekejian besar sebagaimana yang dijelaskan di awal-awal surat, yaitu perbuatan zina.
Untuk menjaga potensi anak-anak muda agar bisa lebih produktif dan kreatif. Serta untuk memelihara keutuhan rumah tangga dan melanggengkan keharmonisan yang dinamis penuh rahmah dan mawaddah.
Tentunya hal ini perlu kerja sama antara kedua pihak yang ada di tengah komunitas masyarakat, laki-laki dan perempuan.
Jangan pernah ada saling menuduh antara perempuan dan laki-laki, karena keduanya bertanggung jawab atas masing-masing dan bekerja sama untuk menumbuhkan kondisi masyarakat yang lebih jernih dan bersih.
Laki-laki diperintahkan untuk menjaga pandangannya juga kehormatannya. Demikian juga perempuan, juga masing-masing menjaga penampilan dengan adab-adab berpakaian yang memenuhi standar norma yang diatur agama.
Bukan dengan membiarkan bagian-bagian tubuh yang dapat mengundang fitnah terbuka, atau berpakaian ketat yang mencetak bentuk tubuh, atau juga mengenakan pakaian transparan yang tipis yang juga akan menimbulkan fitnah dan mempersulit untuk menjaga pandangan.
Dan tentunya proses penyadaran ini terus menerus dilakukan oleh siapapun. Terutama yang memahami aturan ini.
Proses penyadaran terhadap masyarakat ini juga tidak berjalan sebentar, namun perlu proses panjang dan kesabaran.
Agar masyarakat tidak berubah menjadi anti dan kemudian membenci aturan-aturan Allah. Di sinilah dai yang bijak bisa menempatkan diri dengan hikmah dan bijaksana dalam berdakwah di tengah masyarakatnya.
Tidak menyerah dalam kondisi apapun, bahkan sampai seburuk apapun kondisi sosialnya. Juga tidak dengan pemaksaan yang berlebihan.
Adapun perhiasan yang dimaksud di sini adalah sesuatu bila terbuka dan terlihat oleh laki-laki maka bisa menimbulkan fitnah.
Maka urutan pengecualian (boleh) melihatnya pun berbeda-beda. Dimulai dari suami. Karena suami istri dibebaskan, dihalalkan melihat apa saja diantara mereka berdua. Kemudian setelahnya ayah kandung, ayah mertua dan seterusnya.
Secara eksplisit memang kita tak menjumpai bagaimana tata cara perempuan berpakaian di depan saudara perempuan mereka dan ibu mereka.
Tapi ini adalah standar umum kesopanan mereka berpakaian di rumah. Juga penegasan ”wanita yang islam” adalah demi menjaga aurat.
Karena dikhawatirkan bila mereka memberikan penggambaran fisik seorang muslimah dikarenakan tidak paham atau dikarenakan kebencian atau sebab-sebab yang lain. Karena sebagaimana melihat, mendeskripsikan fisik perempuan dalam Islam adalah suatu yang dihindari.
Sayangnya justru modernisasi yang dipahami oleh sebagian orang adalah dengan memperlihatkan fisik di depan umum. Dengan dalih membebaskan, sebagian berdalih seni. Dan sebagian lain berdalih konsumtif dan keinginan pasar.
Bila seperti ini maka perempuan hanya dinilai dari fisiknya saja. Padalah Allah memuliakannya. Dan karena perempuan sebagaimana laki-laki, tidak dinilai dari penampilan fisiknya.
Siapa-siapa saja yang berhak melihat ”perhiasan” tersebut telah diatur dalam agama.
Wallahu A’lam
[Ln]