KONSELOR keluarga sekaligus Founder Wonderful Family Institute, Cahyadi Takariawan menjelaskan bahwa menikah adalah bab menerima pasangan seutuhnya.
Apa yang anda bayangkan tentang pernikahan?
Ternyata menikah bukan saja soal kebahagiaan dan bulan madu yang mengasyikkan.
Namun menikah juga menyangkut kekecewaan dan ketegangan yang harus dilewati bersama sepanjang kehidupan berumah tangga.
Sebagian dari anda, ada yang melewati hubungan khusus sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah dengannya.
Sebagian yang lain memilih cara ta’aruf untuk menghindari pacaran dan hubungan yang tidak sesuai syar’i.
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Namun, dengan cara apapun anda mengawali proses pernikahan, setelah menikah anda harus bersedia untuk menerima pasangan hidup seutuhnya.
Bukan hanya kebaikannya, bukan hanya kelebihannya, bukan hanya kecantikan atau ketampanannya, bukan hanya kekayaan dan fasilitasnya, bukan hanya posisi dan jabatannya, bukan hanya semua yang menyenangkan darinya.
Anda juga harus bisa beradaptasi dan menerima semua yang menjadi kekurangannya, kelemahan, kegagalan, sisi-sisi buruk dan negatif yang pasti ada pada pasangan anda.
Menikah Adalah Bab Menerima Pasangan Seutuhnya
Baca juga: Perempuan Sudah Menikah, Tinggal Jauh atau Dekat dengan Orangtua?
Hal ini sangat berguna untuk menjadi pertimbangan bagi anda para lajang yang akan menentukan dan memutuskan calon pendamping hidup.
“Menikah adalah proses menerima sisi kelemahan dan kekurangan pasangan yang belum anda temukan di saat masa perkenalan.” (Majdi Manshur Sayyid Asy-Syuri: Tuhfatul ‘Arusaini).
Selain itu, Cahyadi juga memberi nasihat tentang ruang kompromi keluarga.
Boleh memiliki harapan ideal terhadap pasangan. Akan tetapi setinggi apapun ekspektasi, harus selalu siapkan ruang kompromi.
Jika memiliki harapan terlalu berlebihan dan tidak menyediakan ruang kompromi, yang akan muncul hanyalah ledakan kekecewaan.
Ruang kompromi harus disediakan oleh kedua belah pihak untuk menjamin tercapainya keseimbangan harapan dan kenyataan.
Dialog intensif dan obrolan dari hati ke hati yang dilakukan secara rutin oleh suami dan istri, menjadi cara untuk membentuk ruang kompromi tersebut.[Sdz]