SEJENAK berkontemplasi. Bunda tahu pekerjaan paling penting di dunia tetapi benar-benar tidak dipersiapkan itu apa? Betul Bun, pekerjaan menjadi orang tua.
Saat ini, banyak sekali, tumbuh sekolah-sekolah yang dapat menghasilkan uang.
Banyak orang yang memikirkan bagaimana menjadi seorang pakar hukum, arsitek, dokter, dengan berbagai macam jenjang sekolah yang harus mereka tempuh. Mulai dari jenjang Sekolah Dasar sampai jenjang doktoral.
Profesi-profesi tersebut membutuhkan waktu sekitar 7-8 jam sehari selama 5 hari dalam sepekan.
Banyak orang berlomba menggunakan waktu mereka selama bertahun-tahun untuk belajar suatu ilmu agar memperoleh pekerjaan,
tapi sayang, banyak orang jarang bahkan tidak pernah belajar ilmu parenting, yang ilmu itu dia butuhkan selama 24 jam dalam sehari.
Padahal mereka bekerja untuk kebutuhan anak-anak mereka namun mereka enggan belajar untuk mengembangkan, mengasuh, mendidik anak-anak mereka.
Bunda, banyak orang tua yang ingin anaknya menjadi lebih baik tetapi seringkali orang tua tidak berkaca diri.
Saat orang tua berteriak meminta anaknya berhenti untuk tidak berteriak, apa yang sebenarnya orang tua contohkan kepada anaknya.
Saat orang tua meminta anaknya bersabar tapi dengan kata-kata “Aah.. sabar dong, nggak sabaran amat”, sebenarnya apa yang orang tua ajarkan kepada anaknya.
Saat orang tua meminta anaknya tidak mengeluh “Udah nggak usah mengeluh, susah amat sih dibilangin, ngeluh lagi, ngeluh lagi” sebenarnya keteladanan apa sih yang orang tua berikan kepada anaknya.
Coba mari kita berkaca dulu, orang tua seperti apa sih kita ini. Mendidik anak itu memang tidak instan bahkan sampai sepanjang hayat, maka orang tua perlu memiliki kesabaran yang berlebih.
Sabar bukan hanya menahan marah, sabar itu tidak tergesa-gesa melihat hasil tetapi terus konsisten menjalani prosesnya.
Baca Juga: Kontemplasi Diri dalam I’tikaf
Sejenak Berkontemplasi
Saya seringkali menyaksikan atau mendengar, banyak orang tua dengan tega, mengeksploitasi anaknya demi kebanggaan orang tuanya.
Orang tua bersemangat mengkursuskan berbagai macam kursus kepada anaknya mulai dari main piano agar bisa tampil di panggung dan mendapat applaus,
kursus matematika agar bisa menang olimpiade, kursus bahasa Inggris agar bisa tampil pidato dan berbagai macam kursus lainnya.
Orang tua tidak sadar, apakah semua kursus yang anak lakukan itu membuatnya gembira atau tidak, membuat anaknya nyaman atau tidak, membuat anaknya stres atau tidak, membuat anaknya depresi atau tidak.
Bisa jadi, anak menuruti kemauan orang tua karena rasa takut bukan didasarkan pada kemauan si anak. Orang tua tidak peduli perasaan anak.
Orang tua terus mengeksploitasi anak demi kebanggaan orang tua, demi nama baik orang tua, demi kehormatan orang tua, demi kepentingan orang tua, demi harga diri orang tua, dan demi kebanggaan orang tua di mata kalayak umum.
Saya juga sering menyaksikan, bagaimana peran orang tua yang secara otoriter mengontrol penuh anaknya. Anak yang selalu dikontrol berdampak tidak baik bagi anak.
Orang tua yang selalu memutuskan apa saja untuk anaknya mulai dari memilih baju, memilih mainan, memilih teman bermain, dan lainnya maka anak akan cenderung bermasalah baik secara akademik maupun secara pergaulan.
Anak akan terus tergantung pada orang tuanya. Anak tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.
Saat orang tuanya tiada, ia akan mudah stress dan tertekan saat menghadapi masalah sebab dewa penolongnya sudah tiada.
Orang tua yang sering mengontrol anaknya di kemudian hari akan berdampak buruk bagi anaknya.
Anak menjadi kurang percaya diri, takut mengambil keputusan, kurang inisiatif dan kreatif, tidak siap menghadapi kegagalan, mudah stress saat menghadapi masalah.
Mari Bunda, Ayah sejenak kita berkontemplasi. Sudah benarkah pengasuhan yang kita lakukan selama ini. Jika belum, maka sekaranglah waktu yang tepat untuk mengubah semuanya.
Sekarang waktu yang tepat untuk memulai kembali pengasuhan yang benar. Saat ini bukan nanti.[ind]
sumber: Kulwap Tumbuh Yuk! Randy Ariyanto W. dan Dyah Lestyarini. Rumah Pintar Aisha: Juli 2021.