TAFSIRAN bisa benar, bisa juga salah. Tapi tafsiran orang bodoh sulit mendekati kebenaran.
Seorang anak buah kapal baru saja bergabung. Ia diterima karena rajin dan kuat. ABK ini juga cepat mengambil inisiatif.
Dalam sebuah pelayaran pertamanya, ia sudah banyak melakukan banyak hal. Selain melayani pimpinan, ia terlihat rajin membereskan geladak kapal yang terbuat dari kayu itu.
Pelayaran kali ini ditaksir bisa menghasilkan banyak tangkapan ikan. Dan hal itu memang target dari sebuah pelayaran kapal nelayan.
Suatu kali, nakhoda menyadari sesuatu. “Ampun, kita melupakan cadangan air minum kita,” ucapnya yang didengar semua ABK.
Sebagian besar dari belasan ABK itu langsung mendongak ke langit. Hanya si ABK baru yang melihat ke bawah kapal.
Mereka yang mendongak ke langit seperti seragam menghitung apakah akan turun hujan. Karena hanya dari situ harapan bisa minum akan tersedia.
Tapi si ABK baru punya ide ‘briliyan’. Ia melihat ke arah bawah seperti menemukan cara efektif memperoleh air minum.
Beberapa jam setelah pelayaran berlangsung, malam mulai datang. Tapi, hujan yang dinanti-nanti tak kunjung tiba. Saat itulah mereka tertidur dalam kehausan.
Si ABK baru ini mengulang lagi tafsiran ‘brilyan’nya. Ia heran kenapa hanya dirinya yang punya pikiran itu. Apa itu?
Ia heran, kenapa semua orang di kapal ini hanya mengharapkan air hujan yang belum pasti. Padahal, kapal ini sedang berada di atas air.
Di saat semua tertidur, ia pun turun ke dasar kapal. Ia sengaja tidak ingin menyusahkan ABK lain yang nyenyak istirahat.
Ia pun membawa gergaji dan parang. Ia berpikir, kalau dasar kapal ini dilubangi, akan ada air yang bisa mengalir masuk dan dimanfaatkan.
Lagi-lagi ia sangat heran, kenapa hanya dirinya yang punya tafsiran ‘brilyan’ ini.
**
Bayangkan jika sebuah organisasi, sebuah perusahaan, bahkan sebuah negara memiliki pejabat yang seperti kisah ABK baru di atas. Maka tafsiran solutifnya bukan hanya akan mencelakai dirinya, tapi juga seisi organisasi, perusahaan, dan negara itu. [Mh]