SIAPA pun bisa kena fitnah dari orang fasik. Termasuk wanita paling sholeh seperti Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Di sebuah perjalanan selepas peperangan, Aisyah radhiyallahu ‘anha berada di sebuah tandu tertutup. Ia dan pengawal memang terpisah dari posisi Rasulullah dan pasukan lain.
Saat itu suasana malam. Pasukan beristirahat sejenak. Aisyah meminta izin ke pangawal untuk keluar tandu untuk buang hajat.
Ketika akan kembali ke tandu, Aisyah tersadar kalau kalungnya lepas. Ia pun kembali menyusuri jalan ketika ia buang hajat.
Karena suasana gelap dan tak ada penerangan, kalung yang dicari tidak mudah didapat kembali. Hal inilah yang menyebabkan waktu keluar Aisyah dari tandu sudah melebihi waktu yang biasa.
Ketika rombongan pasukan akan kembali berangkat, Aisyah masih sibuk mencari kalung. Para pengawal mengira Aisyah sudah berada dalam tandu. Dan mereka pun mengangkat tandu kosong yang mereka kira Aisyah sudah ada di dalamnya.
Sepertinya, berat tubuh Aisyah tidak begitu berat. Sehingga, para pengawal tidak bisa membedakan apakah tandu sudah terisi Aisyah atau masih kosong. Berangkatlah rombongan pasukan termasuk tandu Aisyah.
Setelah kalung ditemukan, Aisyah berusaha kembali ke rombongan pasukan untuk memasuki tandu. Tapi, ia tidak menemukan seorang pun. Ia baru sadar kalau pasukan sudah berangkat meninggalkan lokasi istirahat.
Aisyah tidak panik. Ia duduk di lokasi di mana tandunya berhenti. Jika nanti para pengawal menyadari kalau dirinya belum berada dalam tandu, maka pasukan akan mudah menemukannya.
Lama ia menunggu dalam gelap itu. Dan akhirnya, Aisyah tertidur di tepian jalan yang biasa dilewati itu.
Ada satu orang anggota pasukan berkuda yang memang bertugas untuk berada di belakang untuk menyusuri jalan agar tidak berjejak. Namanya, Shafwan bin Mua’thal As-Sulami radhiyallahu ‘anhu.
Shafwan seorang anak muda yang tampan. Ia pernah bertemu Aisyah saat syariah hijab belum turun.
Betapa terkejutnya Shafwan ketika mendapati istri Rasulullah tertidur sendirian di suasana yang begitu gelap. “Astagfirullah, Ummul Mukminin?” begitu kira-kira reaksi Shafwan begitu spontan.
Ia pun mempersilahkan Aisyah menunggangi kudanya, sementara ia berjalan menuntun tali kendali kuda.
Sepanjang perjalanan, tak ada sepatah kata pun yang keluar di antara mereka berdua kecuali ucapan Shafwan untuk mempersilahkan Aisyah menaiki kudanya.
Mereka berdua pun tiba di Madinah saat hari sudah terang. Dan saat itu, Rasulullah dan pasukan belum lama menyadari kalau Aisyah tidak berada dalam tandu yang mereka bawa.
Hadirnya dua sosok, Aisyah dan Shafwan yang datang berdua itu pun menjadi sorotan banyak pasang mata. Termasuk dari kaum munafik di Madinah.
Mereka pun melemparkan tuduhan kalau Aisyah telah berselingkuh dengan Shafwan. Isu tersebut menyebar di hampir seantero Madinah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berkomentar apa pun. Sepertinya, Rasulullah menunggu datangnya wahyu dari Allah untuk menjelaskan perkara tersebut.
Namun, terasa seperti lain dari yang lain, wahyu tidak turun hampir satu bulan. Aisyah pun sudah kembali ke rumah orang tuanya untuk menenangkan hati karena tak tahan dengan fitnah yang tersebar.
Siang malam Aisyah menangis. Ayah ibunya menenangkan. Rasulullah pun tidak bisa berbuat lain kecuali menenangkan Aisyah dan menunggu penjelasan dari Allah subhanahu wata’ala.
Setelah satu bulan, wahyu dari Allah pun akhirnya turun. Yaitu, turunnya Surah An-Nur yang di antaranya menjelaskan bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha tidak bersalah dan hanya menjadi korban fitnah.
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu (juga)….
“Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka terhadap diri mereka sendiri, ketika kamu mendengar berita bohong itu dan berkata, ‘Ini adalah (suatu berita) bohong yang nyata…” (QS. An-Nur: 11-12)
**
Ujian fitnah tentang Aisyah radhiyallahu ‘anha itu turun begitu sempurna, dengan objek orang-orang sempurna sekaliber para sahabat radhiyallahum ajma’in.
Sebuah pelajaran luar biasa. Bahwa, siapa pun kita tidak akan luput dari fitnah. Semakin sempurna kesolehan seseorang, semakin sempurna fitnah yang muncul.
Kini, siapalah kita. Kita jauh dari kata sempurna di banding sosok para sahabat dan sahabiyah di masa Nabi. Fitnah kecil pun bisa mencoreng diri kita.
Seperti yang dilakukan wanita teladan seperti Aisyah radhiyallahu ‘anha, bertawakalah kepada Allah. Karena kita tidak sedang bertanggung jawab kepada orang yang menyoroti kita. Melainkan hanya kepada Allah Yang Maha Tahu tentang diri kita. [Mh]