Pahamilah latar belakang dari sebuah kejadian, agar kita tidak salah menafsirkan.
Suatu hari, ada seorang bapak shalat berjamaah Isya di masjid. Ia begitu khusyuk shalat sebagai makmum di shaf terdepan.
Ketika ia memulai shalat, sang bapak mengetahui kalau shaf di sebelahnya masih bersisa dua orang. Ia berharap akan ada jamaah yang ikut menyusul shalat agar shafnya tidak ‘bolong’.
Benar saja, ada dua orang yang ikut bergabung. Tapi, yang bergabung dua bocil yang usianya sekitar 5 hingga 6 tahun.
Di luar dugaan sang bapak, dua bocil itu tidak fokus shalat. Kadang yang sebelahnya menendang temannya, dan temannya membalas. Kadang lagi yang sebelahnya memukul temannya, dan temannya pun membalas.
Pendek kata, dua bocil ini sangat mengganggu shalat sang bapak. Shalatnya menjadi tidak khusyuk. Beberapa kali, ia terinjak kaki bocil di sebelahnya atau terdorong karena kedua bocil itu kerap saling dorong.
Yang menarik dari perhatian sang bapak, bocil yang persis di sebelahnya itu yang paling agresif. Dialah yang memprovokasi temannya untuk saling membalas. Dan bukan hanya gerakan, omongan pun hampir tak berhenti sepanjang shalat berlangsung. Meskipun suaranya pelan.
Setelah empat hampir selesai, akhirnya sang bapak bertekad akan memberi pelajaran kepada si bocil. Terutama bocil yang ada di sebelahnya. Hal ini agar candaan buruk itu tidak diulangi di kemudian hari.
“Ah, akan aku sentil telinga si bocil ini!” ucapnya dalam hati.
Persis di tahiyat akhir, tiba-tiba bocil di sebelahnya meledek nama ibu temannya. Dan menariknya temannya tidak membalas ledekan yang sama. Ia hanya diam.
Akhirnya bocil yang meledek dengan menyebut-nyebut nama ibu temannya itu bilang, “Ye, gak bisa balas kan. Lha ibuku sudah meninggal, apalagi bapakku. Sudah lebih lama meninggal. Yatim piatu aku ini!” ucapnya ringan.
Deg. Sang bapak itu terkejut. Akhirnya ia menyadari kalau bocil ‘bandel’ di sebelahnya itu anak yatim piatu.
“Ya Allah, hampir saja aku menyakiti anak yatim!” bisiknya dalam hati.
Setelah shalat jamaah selesai, dua bocil itu pun langsung berdiri dan kabur meninggalkan barisan shalat.
Sang bapak terus beristigfar dan istigfar. Ia beristigfar bukan karena ucapan biasa setelah shalat, tapi karena sempat berniat akan menyakiti seorang anak yatim.
**
Tidak cukup melihat dan mengetahui sebuah peristiwa apa adanya. Cobalah pahami latar belakang atau sebabnya.
Dengan begitu, kita tidak akan salah mengambil sikap karena tafsiran yang salah. [Mh]