NILAI cinta dan keluarga dari kisah Muhammad Al Fatih ini ditulis oleh Travel Writer Uttiek Herlambang dengan judul “Kehilangan, Cinta, dan Keluarga”.
Kabar tentang Emmeril Kahn Mumtadz atau Eril putra Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang hanyut di sungai Aere, Bern, Swiss, menyita perhatian masyarakat selama berhari-hari.
Sejak dinyatakan hilang pada Kamis (26/5) hingga ditemukan jasadnya pada Rabu (8/6).
Publik begitu antusias mengikuti karena berita ini bukan sekadar kabar tentang anak pejabat yang hanyut di sungai di luar negeri, namun adanya nilai-nilai cinta dan keluarga yang ikut terangkat.
Tak disangkal, di tengah kehidupan manusia modern yang serba hedonis, nilai-nilai cinta dan keluarga kian tergerus. Bagi masyarakat Indonesia, cinta dan keluarga adalah nilai-nilai yang tertanam secara kolektif.
Paul Connerton, mendefinisikan memori kolektif sebagai ingatan bersama di dalam suatu kelompok masyarakat yang dibangun dari sebuah pengalaman masa lalu yang terorganisir berdasarkan ingatan.
Sehingga ketika orangtua, kerabat, dan para sahabatnya mengunggah foto-foto yang menyentuh hati, masyarakat seakan “diingatkan” tentang pentingnya arti cinta, afeksi, dan kehangatan dalam keluarga.
Perasaan kehilangan putra sulung yang begitu dibanggakan orang tua, anak baik, ganteng, pintar, lulusan sekolah ternama dan sederet predikat lainnya seakan menjadi kehilangan bersama.
Begitu dalamnya rasa kehilangan itu hingga dilukiskan tak ada istilah yang dapat mewakilinya.
Sebutlah kalau kehilangan orang tua ada istilah yatim/piatu. Kehilangan suami/istri ada istilah janda/duda. Namun kehilangan anak tak ada kata yang tepat untuk mengungkapkannya.
Baca Juga: Jalan Sultan Muhammad Al-Fatih
Nilai Cinta dan Keluarga dari Kisah Muhammad al Fatih
View this post on Instagram
Rasa kehilangan yang begitu mendalam juga pernah dirasakan oleh salah satu sultan Utsmani yang sangat masyhur. Ia adalah Sultan Murad II, ayahanda Sultan Muhammad Al Fatih.
Syahdan Muhammad Al Fatih tidak pernah diproyeksikan menjadi pengganti ayahnya karena ia mempunyai dua kakak laki-laki, Ahmed dan Ali.
Seperti putra-putra sultan sebelumnya, di usia 2 tahun, Al Fatih dan Ahmed dikirim ke kota Amasya untuk belajar.
Di usia 6 tahun, Al Fatih diangkat menjadi gubernur Amasya menggantikan Ahmed yang meninggal mendadak.
Dua tahun memimpin Amasya, dia bertukar tempat dengan kakak keduanya, Ali, untuk memimpin kota Manisa.
Takdir Allah, Ali kemudian terbunuh. Peristiwa itu sangat memukul Sultan Murad II karena Ali adalah anak kesayangan yang digadang-gadang akan menggantikannya kelak.
Itu pula yang menjadi salah satu alasan Sultan Murad II mundur dari posisinya sebagai sultan.
Kesedihan yang mendalam membuat Sultan Murad II ingin lebih banyak bertaqarrub pada Allah, dan menyerahkan tampuk kekuasaan pada Muhammad Al Fatih yang kala itu usianya masih 11 tahun.
Singkat cerita, setelah kemenangan dalam perang Pentallaria, Sultan Murad II kembali didaulat menjadi sultan Utsmani dan Muhammad Al Fatih kembali menjadi gubernur di Manisa.
Hingga akhirnya Sultan Murad II mangkat pada 3 Februari 1451, dan Muhammad Al Fatih ditabalkan untuk kedua kalinya menjadi sultan.
Belajar dari peristiwa-peristiwa kehilangan itu, Allah ingin tunjukkan pentingnya nilai-nilai cinta dan keluarga yang dirindukan setiap manusia.[ind]