NAMA lengkapnya Mughirah bin Syu’bah bin Abi Amir bin Mas’ud Ats-Tsaqafi, biasa dipanggil Abu Abdillah dan digelari Mughirah Ar-Ra’y. Ia lahir di Thaif tahun 20 sebelum hijrah.
Pada masa jahiliyah, ia pernah meninggalkan Thalif dan merantau ke Iskandaria, Mesir. Saat itu, ia mengunjungi Al-Muqauqis, gubernur pemerintahan Romawi di Iskandaria. Kemudian ia kembali ke tanah Hijaz.
Ia masuk Islam tahun 5 H dan mengikuti perjanjian Hudaibiyah.
Ia juga mengikuti perang Al-Yamamah, pembebasan Syam, Al-Qadisiyah, Nahrawand, Hamadan, dan wilayah lainnya. Ia kehilangan penglihatan pada perang Al-Yarmuk.
Sebelumnya, perang Al-Qadisiyah meletus, Rustam, panglima pasukan Persia, meminta kepada Sa’ad bin Abi Waqqash untuk mengutus salah satu di antara pasukannya yang cerdas dan intelek dalam rangka menjawab beberapa pertanyaannya.
Baca Juga: Tiga Pilihan Al-Mughirah bin Syubah kepada Panglima Rustum (3)
Mughirah bin Syu’bah Sahabat yang Cerdas dan Jago Berunding
Sa’ad lalu mengutus Mughirah bin Syu’bah. Setelah bertemu, Rustam bertanya,
“Kalian adalah tetangga kami dan kami selalu berlaku baik terhadap kalian serta mencegah gangguan yang mengancam keselamatan kalian.
“Karena itu, hendaklah kalian pulang ke wilayah kalian dan kami berjanji tidak akan menghalangi ekspedisi dagang kalian untuk masuk ke wilayah kami”.
Mughirah menjawab, “Kami tidak mencari keuntungan ukhrawi. Allah telah mengutus kepada kami seorang Rasul”.
Selanjutnya Mughirah mengatakan, “Aku akan menguasai golongan yang enggan menganut agama yang kuanut dan akan memerangi mereka.
Tetapi kalau mereka mengakui agamaku, maka aku akan memberikan kemenangan kepada mereka. Agama tersebut adalah agama kebenaran.
Tidak ada seorang pun yang membencinya melainkan ia akan menjadi hina, dan tidak ada seorang pun yang berpegang teguh kepadanya melainkan ia akan menjadi mulia”.
“Apa agamamu itu?” tanya Rustam.
“Pondasinya adalah kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah serta pengakuan terhadap apa yang datang dari-Nya,” jawab Mughrirah.
” \Alangkah baiknya hal itu! Lantas apa lagi?” tanya Rustam.
“Semua manusia adalah anak cucu Adam. Karenanya, mereka semua adalah bersaudara dan berasal dari seorang ayah dan seorang ibu,” kata Mughirah.
“Hal ini juga baik, lantas apa lagi?” tanya Rustam sambil berujar, “Jika kami memeluk agama kalian, apakah kalian hengkang dari wilayah kami?”
“Tentu! Kami tidak akan mendatangi wilayah kalian kecuali ada kepentingan atau ada urusan dagang,” jawab Mughirah.
“Hal ini juga baik,” kata Rustam.
Baca Juga: Belajar Berdiplomasi dari Al-Mughirah bin Syubah (1)
Setelah Mughirah pergi, Rustam langsung mengajak para pemimpin kaumnya untuk masuk Islam. Akan tetapi, mereka menolak.
Umar pernah mengangkat Mughirah sebagai gubernur Bashrah. Pada masa kepemimpinannya, ia berhasil membebaskan beberapa wilayah baru. Setelah itu, Umar mencopot jabatannya.
Kemudian Usman mengangkatnya menjadi gubernur Kufah. Tidak lama kemudian, Usman mencopot jabatannya.
Ia menghindar saat terjadi konflik antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Ia hadir bersama dua juru runding yang ditunjuk kedua belah pihak yang bertikai dalam proses tahkim (arbitrase) di Shiffin.
Mu’awiyah pernah menugaskannya sebagai gubernur Kufah. Ia adalah orang pertama yang menyusun administrasi pemerintahan di Kota Bashrah.
Ia juga gubernur pertama yang diberi penghormatan dalam Islam.
Asy-Sya’bi pernah mengatakan, “Ada empat orang cerdik Arab, yaitu Mu’awiyah karena kesabarannya, Amr bin Syu’bah dalam hal ide spontanitasnya, dan Ziyad bin Abih terhadap kalangan tua dan muda.”
Baca Juga: Utsman bin Mazh’un Mendapat Perlindungan Walid bin Mughirah
Ia meriwayatkan 136 hadis dari Nabi. Di antaranya, Nabi bersabda,
“Allah telah mengharamkan kepada kalian menyakiti ibu-ibumu, mengubur anak perempuan hidup-hidup, menarik dan menahan harta yang bukan miliknya.
Dan Allah membencinya kalian menceritakan kejelekan orang lain, banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Itulah biografi singkat Mughirah bin Syu’bah. Ia meninggal di Kufah pada tahun 50 H.[ind]
(sumber: Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Syaikh Muhammad Sa’id Mursi, Pustaka Al-Kautsar)