ChanelMuslim.com – Miqdad bin ‘Amr, sahabat yang bijak. Ucapan Miqdad yang dikemukakan saat Rasulullah meminta pendapat pada sahabat, tidak saja menggambarkan keberaniannya, tetapi juga melukiskan sikap bijaknya, dan pola pikirnya yang mendalam.
Dan memang demikianlah sifat Miqdad. Ia orang yang bijak, dan cara pandangnya sangat tajam. Itu tidak hanya terlihat pada ucapannya, tetapi terlihat juga pada prinsip hidup dan perilakunya yang lurus.
Baca Juga: Perlombaan dalam Kebaikan Para Sahabat Nabi
Pengalamannya Menjadi Sumber Sikap Bijak
Semua pengalamannya adalah sumber bagi sikap bijak dan pola pikirnya.
Ia pernah diangkat oleh Rasulullah sebagai gubernur di suatu wilayah. Tatkala ia kembali dari tugasnya, Nabi bertanya, “Bagaimana dengan jabatanmu?”
Ia jawab dengan jujur, “Engkau telah menjadikanku menganggap diri ini di atas rakyat sedang mereka di bawahku.
Demi yang telah mengutusmu membawa kebenaran, mulai saat ini saya tidak akan menjadi pemimpin sekalipun untuk dua orang.”
Jika ini bukan sikap bijak, lantas apa?
Jika dia bukan seorang yang bijak, lantas apa?
Ia adalah seorang laki-laki yang tidak tertipu oleh dirinya dan kelemahannya.
Ia menjadi gubernur, lalu dirinya dikuasai kemegahan dan pujian.
Baca Juga: 10 Sahabat Nabi yang Dijanjikan Masuk Surga
Kelemahannya adalah Pengalaman Pahit
Kelemahan ini disadarinya hingga ia bersumpah akan menghindarinya dan menolak untuk menjadi gubernur lagi setelah pengalaman pahit itu.
Dan ia menepati janjinya itu. Sejak saat itu, ia tak pernah menerima jabatan pemimpin.
Ia sering mengucapkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang berbunyi “Orang yang berbahagia ialah orang yang dijauhkan dari kehancuran.”
Di antara sikap bijaknya adalah kehati-hatiannya dalam menilai orang. Sikap ini juga ia pelajari dari Rasulullah saw. Yang telah menyampaikan kepada umatnya, “Berubahnya hati manusia lebih cepat dari periuk yang sedang mendidih.”
Miqdad sering menangguhkan penilaian terakhir terhadap seseorang sampai dekat saat kematian mereka. Tujuannya ialah agar orang yang akan dinilainya tidak mengalami hal baru lagi.
Adakah perubahan setelah kematian?
Baca Juga: Mu’adz Bin Jabal, 1 dari 6 Sahabat Nabi yang Hafal Quran pada Masa Nabi
Peristiwa yang Tidak Dipertontonkan oleh Allah
Sikap bijaknya terlihat sangat jelas dalam dialog berikut. Seorang temannya menceritakan, “Suatu hari, kami duduk dekat Miqdad.
Tiba-tiba seorang laki-laki lewat dan berkata kepada Miqdad, ‘Sungguh berbahagialah kedua mata yang telah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ini.
Demi Allah, kami sangat senang jika dapat melihat apa yang kau lihat, dan menyaksikan apa yang kau saksikan.”
Miqdad menghampirinya dan berkata, “Apa yang mendorong kalian ingin menyaksikan peristiwa yang tidak dipertontonkan oleh Allah,
padahal kalian tidak tahu bagaimana kondisi kalian jika menyaksikannya? Demi Allah, ada orang-orang yang hidup di masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Tapi mereka dijeremuskan Allah ke neraka jahannam. Sebaiknya kalian bersyukur kepada Allah yang menghindarkan kalian dari sebagai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Nabi kalian!”
Sungguh satu sikap bijak yang luar biasa.
Baca Juga: Kisah Sahabat Nabi: Safinah, Maula Rasulullah
Penglihatan yang Tajam
Tidak seorang pun yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya yang kalian temui, kecuali ia menginginkan hidup di masa Rasulullah dan dapat melihatnya.
Tetapi penglihatan Miqdad yang tajam dapat menembus sesuatu yang tidak terjangkau oleh keinginan itu.
Bukankah tidak mustahil ia berada di barisan orang-orang kafir?
Tidakkah lebih baik jika ia bersyukur kepada Allah yang telah menghidupkannya di masa di mana Islam telah tersebar luas, sehingga ia bisa melaksanakan ajaran Islam dengan mudah.
Demikianlah pandangan Miqdad, memancarkan sikap bijak dan kecerdasan. Dan setiap tindakan dan ucapannya membuktikan bahwa ia adalah orang yang bijak dan memiliki pola pikir yang mendalam.
Kecintaaan Miqdad kepada Islam tidak terkira besarnya. Selain itu, ia orang yang bijak dan memahami permasalahan dengan benar.
Baca Juga: Inilah yang Menjadikan Kita Tak Sehebat Sahabat Nabi
Cintanya kepada Islam
Cinta yang mendalam dan tertata menjadikan pemiliknya sebagai orang yang istimewa. Ia tidak berhenti pada rasa cinta tapi tahu akan semua konsekuensinya.
Inilah tipe Miqdad bin `Amr. Cintanya kepada Rasulullah menumbuhkan rasa tanggung jawab atas keselamatan Rasulullah.
Setiap didengar ada kehebohan di Madinah, maka dengan secepat kilat Miqdad telah berada di ambang pintu rumah Rasulullah menunggang kudanya, ambil menghunus pedang atau tombaknya.
Cintanya kepada Islam menyebabkan bertanggung jawab untuk membela ajaran Islam. Tidak saja dari tipu daya musuh-musuhnya, tetapi juga dari kekeliruan rekan-rekannya sendiri.
Suatu ketika, ia berada dalam pasukan kecil yang berhasil dikepung oleh pasukan musuh. Komandan pasukan memerintahkan agar tidak seorang pun menggembalakan hewan tunggangannya.
Tetapi salah seorang anggota pasukan tidak mengetahui larangan itu, dan melanggarnya.
Sebagai akibatnya ia menerima hukuman yang rupanya lebih besar dari yang seharusnya, atau bahkan ia semestinya tidak layak menerima hukuman.
Baca Juga: Tangis Para Sahabat Nabi
Cita-citanya adalah Kejayaan Islam
Maqdad lewat di depan orang yang kena hukuman itu. Orang itu sedang menangis dan berteriak-teriak. Ketika ditanya ia mengisahkan apa yang telah terjadi.
Miqdad menggandeng tangan orang itu, lalu diajak pergi menghadap komandan. Terjadi dialog antara Miqdad dengan komandan. Dan akhirnya, terbukti bahwa komandanlah yang bersalah.
Miqdad berkata kepada komandan, “Sekarang berilah kesempatan kepadanya untuk melakukan qishash.”
Komandan itu patuh pada saran Miqdad. Namun tentara itu memaafkan. Miqdad melihat pemandangan ini dengan takjub.
Ia mencium kebesaran Islam yang telah memberikan keluhuran. Ia berkata, “Saat aku mati, Islam sudah dihormati.”
Itulah cita-citanya, yaitu kejayaan Islam saat ia meninggal dunia. Ia perjuangkan cita-cita ini dengan penuh kesabaran dan pengorbanan, bersama rekan-rekannya yang lain.
Hingga ia layak menyandang sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah menyuruhku menyayangimu, dan memberitahuku bahwa Dia menyayangimu.” [Tamat/dn]
Sumber: 60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW/Khalid Muhammad Khalid/Al I’tishom