Seringkali diri ini merasa heran, mengapa sulit sekali mengajak orang untuk bersedekah. Padahal Rasulullah bersabda bahwa “tidak akan jatuh melarat siapa yang gemar bershadaqah.”
Belakangan baru paham bahwa shadaqah itu adalah bentuk dzahir dari iman itu sendiri. Shad, dal dan qaaf adalah tiga huruf yang bergabung menjadi shadaqa yang arti harfiahnya adalah benar. Shadaqah adalah pembenaran/legitimasi bahwa benar si fulan itu adalah orang yang beriman, bukti dia beriman karena dia bershadaqah.
Tak dipungkiri di era teknologi informasi yang supercepat menyebar ini, kita melihat ustadz-ustadz yang populer dengan tema shadaqah bisa disambut dengan luar biasa. Dari hasil ngobrol-ngobrol dengan beberapa orang, rata-rata mereka ‘tersihir’ dengan impact dari shadaqahnya, seperti semakin kaya, bisnis yang lancar, dapat jodoh yang ideal dan lain-lain. Akhirnya sekian banyak juga yang kecewa ketika harapannya tidak terkabul dalam durasi waktu tertentu.
Awalnya shadaqah atau dengan bahasa simpelnya sedekah, dorongannya adalah iman/keberimanan tidak ada kalkulasi untung rugi. Lalu bagaimana agar dapat selalu bersedekah dan berinfaq hanya karena Allah demi merain ridha Nya…?
Dalam surat Al Baqarah 260 ada sebuah kisah yang cukup inspiratif.
Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.” Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: “(kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): “Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Menyikapi kisah Nabi Ibrahim yang dikisahkan dalam surat Al Baqarah 260 tersebut Rasulullah SAW bersabda di depan para sahabat. “Kita lebih berhak ragu daripada bapak kita Ibrahim AS…”
Perhatikanlah dan cermatilah sabda Rasulullah tersebut…
Artinya jika sekelas Nabi Ibrahim AS saja membutuhkan pembuktian karena terselip rasa ragu…maka Rasulullah SAW berkomentar jika “kita” dalam arti beliau sendiri dan pada sahabat lebih wajar ragu, dan berhak meminta pembuktian kepada Allah.
Dan bagaimanakah dengan kita sekarang…? Tidak berjumpa dengan Rasullah SAW dan tidak menyaksikan wahyu turun sebagaimana para sahabat…
Bersedekah dan berinfaq adalah sarana paling mudah untuk mohon pembuktian kepada Allah SWT. Seperti dalam surat Al Baqarah : 245 bahwa apabila kita memberikan pinjaman yang baik kepada Allah, maka Allah akan melipat gandakan gantinya.
Apakah kita sudah membuktikan bahwa janji Allah dalam ayat tersebut benar dalam realitas kehidupan?
Kemudian dalam QS. 92:5-11
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa,
Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga)
Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah
Adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup,
Serta mendustakan pahala terbaik,
Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.
Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.
Dalam ayat tersebut Allah menerangkan jika kita berinfaq fisabielillah…Allah akan memudahkan
apa saja urusan dan persoalan hidup kita. Apakah sudah kita buktikan dalam perjalanan hidup kita sekian lama?!
Tak mengapa dalam tahap awal bersedekah dan berinfaq sebagai usaha kita untuk mohon pembuktian kebenaran dari janji Allah itu.
(Berlindung kepada Allah dari perasaan bathin yang dimurkai Nya) secara pribadi saya sudah merasakan dan membuktikan hal itu. Akan tetapi setelah kita membuktikan dan mengalami “kebenaran janji Allah” tersebut, apakah kita akan menjadikan itu sebagai bentuk dari “sikap mental” kita saat bersedekah dan berinfaq?
Pilihlah…! Apakah kita lebih suka Allah tuntaskan balasan sedekah dan infaq kita didunia, atau kita tabung di akhirat?
Sedikit aneh jika kita sebagai orang yang beriman selalu ingin mendapatkan balasan di dunia. Untuk mereka yang bermental demikian renungilah
QS 42:20.
Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.
QS 11: 15-16
Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan dirugikan.
Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.
QS 17:18-19
Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan kami tentukan baginya neraka jahannam, ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.
Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.
Rasulullah SAW adalah seorang yang paling suka bersedekah dan berinfaq, jika niat Rasulullah SAW ingin mendapatkan “ganti yang berlipat ganda dari Allah” tentu beliau secara dzahir akan sangat kaya raya dan meninggalkan warisan yang melimpah ruah buat keluarganya.
Jika Abu Bakar ra. bersedekah dan berinfaq dengan harapan diganti oleh Allah lebih banyak lagi di dunia, tentu ia tidak akan memerah susu kambing untuk memberi nafkah keluarganya. Padahal saat itu pula ia baru dilantik menjadi khalifah kaum muslimin.
Abu Dzar ra. saat turun QS 3:92, bergegas pulang ke rumahnya dan kembali kehadapan Rasulullah SAW dengan segenggam kurma, karena memang hanya itu yang dia miliki untuk disedekahkan. Bandingkan dengan Utsman bin Affan ra. yang menolak para saudagar Yahudi untuk menjualkan kafilah untanya yang sebanyak 1000 ekor unta dengan muatan gandum makanan pokok buat penduduk Madinah. Dengan keuntungan maksimal 20% buat Utsman tanpa melakukan apa-apa. Utsman lebih memilih 1000 ekor unta dan muatannya tersebut untuk disedekahkan kepada kaum muslimin yang saat itu tengah dilanda musim paceklik.
Apa latar belakang Utsman mengambil keputusan tersebut? Karena dia lebih suka “keuntungan yang Allah berikan sebanyak 700% diakhirat kelak seperti dalam QS 2:261-269.
Memahami sedekah Abu Dzar dan Utsman ra. artinya, segenggam kurma sama dinilainya dengan 1000 ekor unta dan muatan gandum. Tetapi yang sering kita lihat realitas saat ini, banyak yang memiliki kelapangan dan rizki yang berlimpah seperti Utsman bin Affan tetapi bersedekah sama dengan jumlah sedekahnya Abu Dzar ra. Inilah yang dinamakan bakhil. Dan kemudian masih berharap Allah melipatgandakan balasannya di dunia dan jika kelak meninggal masuk surgaNya.
Fattaqullah Mastathum, bertakwalah sekuat kemampuan kalian seperti dalam QS 64:15
Artinya kita sendiri lebih tau batas dari maksimal kemampuan kita dalam seluruh hal, tetapi terkadang mentalitas duniawi yang nista mulai mendikte iman kita yang labil…sehingga kita melakukan Korupsi Kemampuan. Realitasnya seperti yang saya lihat, berinfaq sekedarnya tetapi memborong busana sekian kali lipat dari infaqnya.
Untuk merawat wajah, rambut, kuku, badan agar tetap langsing dan membeli busana untuk penampilan lebih prioritas daripada mengeluarkan uang untuk membeli Libasut Taqwa yang bisa menyelamatkan kita dihari yaumil hisab.
Pintarlah memahami akar masalah, jadilah kita Ghuraba, orang asing di dunia ini. Tidak dikenal di dunia tetapi menjadi pembicaraan malaikat di langit. Jika hadir tak dikenal jika pergi tidak ada yang mencari, tetapi manusia ramai merasakan amal shaleh mereka. Tidak peduli siapa saja yang menikmati apa yang dia tanam, tidak perlu ada pengakuan dari manusia…
Semoga diri ini dapat tetap istiqomah dan hanya berharap ridhaMu ya Allah.
Sumber : Kisah seorang penuntut ilmu yang ingin berbagi ilmu –BB-