ChanelMuslim.com- Kenapa kita tak sehebat para sahabat Nabi shallallahu a’alaihi wassalam. Padahal, Alqurannya sama. Nabinya juga sama. Hanya zamannya saja beda.
Dalam kitab ma’alim fi thariq, Sayid Quthub, rahimahullah, mengulas tentang ini. Menurutnya, ada sejumlah hal yang menjadikan generasi kita tidak sekualitas para sahabat di zaman Nabi saw.
Tentu, masih menurut ulama asal Mesir di tahun 70-an ini, bukan lantaran masih hidupnya Nabi di masa itu. Karena Islam dirancang untuk rentang waktu lama hingga akhir zaman. Sementara, usia Nabi hanya enam puluhan.
Kini, Alqurannya sudah komplit. Sunnah Nabinya sudah lengkap. Persis seperti Alquran dan Sunnah yang dikaji dan dipahami para sahabat di masa itu. Meski Nabi saw.-nya tidak ada, tapi rekaman sunnahnya bisa diputar kapan saja seperti yang termuat dalam kitab-kitab hadis para salaf.
Jadi, kenapa kita bisa tidak sehebat sahabat Nabi? Pertama, menurut Sayid Quthub, sahabat menjadikan Alquran dan Sunnah sebagai satu-satunya sumber rujukan. Meskipun saat itu, banyak syair, filsafat Yunani, dan lainnya yang sudah akrab dalam kehidupan orang Arab saat itu.
Suatu kali Umar bin Khaththab memegang salah satu lembaran mushaf Taurat. Nabi bertanya kepada Umar, apa yang kamu pegang. Umar menjelaskan bahwa ia sedang memegang lembaran Taurat untuk ia baca dan pahami isinya.
Nabi pun menjelaskan, sekiranya Nabi yang Allah berikan risalah Taurat itu hidup saat ini, niscaya ia akan merujuk pada Alquran. Mendengar itu, Umar pun langsung membuang lembaran Taurat itu.
Hati dan pikiran para sahabat murni seratus persen berisi rujukan Alquran dan Sunnah. Tidak bercampur dengan ajaran, filsafat, norma, dan lainnya selain itu. Apa yang datang dari Nabi, mereka pegang. Dan apa yang di luar itu, mereka tinggalkan.
Baca Juga: Cara Sahabat Nabi Menimba Ilmu di Tengah Kesibukan
Inilah yang Menjadikan Kita Tak Sehebat Sahabat Nabi
Kedua, ketaatan mereka terhadap Alquran dan Sunnah sebagai ketaatan yang sempurna. Sami’na wa atho’na. Kami dengar, dan kami taat.
Para sahabat mengamalkan apa yang dibimbing syariat secara utuh. Mereka tidak mengamalkan sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain. Mereka mengamalkan semua itu dengan penuh keyakinan bahwa Allah dan Rasul-Nya tidak pernah salah dan tidak ada yang patut diragukan.
Ketika Allah dan Rasul-Nya memerintahkan jihad misalnya, tak ada keberatan dan keraguan sedikit pun untuk mereka amalkan. Meskipun hal itu terasa berat. Dan meskipun saat itu mereka umumnya berada dalam tingkat ekonomi yang minim.
Begitu pun dalam perintah hijrah. Para sahabat di Mekkah mengamalkan hal itu secara total. Dengan cara apa pun, mereka harus hijrah ke Madinah. Meskipun nyawa menjadi taruhan. Dan meskipun, mereka harus meninggalkan istri, anak, dan harta yang sudah susah payah mereka kumpulkan.
Ketika perintah menutup aurat turun, secara serentak, semua muslimah mencari bahan busana apa pun untuk dijadikan penutup aurat. Mereka tidak meminta penundaan karena alasan ini dan itu. Dan tidak meminta dispensasi karena keberatan soal ini dan itu.
Ketiga, para sahabat ketika sudah berada rengkuhan syariat Islam, sedikit pun, tidak pernah terbersit untuk kembali lagi ke masa jahiliyah. Meski pun dalam hal-hal yang dianggap kecil.
Ketika perintah haramnya hamar, semua sahabat membuang semua stok hamar yang mereka miliki. Dan tidak sedikit pun ada pikiran untuk sekali-kali mencicipi lagi hamar karena hal itu sudah lama menjadi budaya.
Begitu pun dalam soal persaudaraan. Meski pun sebelumnya pernah saling berperang antar suku di masa jahiiyah, ketika diikat dalam akidah Islam, semua kebencian, dendam, dan semangat permusuhan sirna secara total. Yang ada hanya cinta dan pengorbanan.
Itulah di antara hal yang menjadikan sahabat menjadi generasi yang khairu ummah, generasi terbaik, seperti disebut Allah dalam Alquran. Kalau kita tidak sehebat para sahabat, boleh jadi, ciri dan kriteria kita memang belum sesempurna yang dilakukan para sahabat.
Tapi jangan salah. Peluang untuk menjadi sehebat para sahabat akan selalu terbuka. Dan akan datang sebuah generasi baru yang sehebat para sahabat. Tinggal masalahnya, apakah kita menjadi di antara mereka atau di luar mereka. Wallahu a’lam. (Mh)