Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan
ChanelMuslim.com-Pilihan warna pakaian bagi tiap orang tentu berbeda. Ada yang suka warna biru, merah, kuning, putih, dan lain-lain. Namun khusus warna merah, ternyata Rasulullah saw memiliki bahasan tersendiri, terutama bagi para pria.
Laki-laki memakai pakaian merah tidak lepas dari dua keadaan:
1. Merah bercampur warna lain, atau ada corak lain. Ini sepakat kebolehannya. Hadits-hadits yang melarang pakaian merah itu konteksnya jika merahnya polos.
وأما أحاديث النهي فهي خاصة بما كان أحمر خالصا لا يخالطه شيء
Ada pun hadits-hadits yang menunjukkan larangan itu spesial untuk merah murni tanpa ada campuran lainnya. (Al Mausu’ah, 6/132)
2. Seluruhnya merah, tanpa ada corak sama sekali. Baik corak itu garis, lengkung, warna lain, atau bentuk apa saja. Semuanya tidak ada, murni merah dan polos.
Untuk kasus ini, ada dua pendapat ulama:
Pendapat Pertama. Sebagian Pihak yang mengatakan MERAH POLOS, tanpa campuran warna lain, hal itu terlarang yaitu makruh.
ذهب بعض الحنفية والحنابلة إلى القول بكراهة لبس ما لونه أحمر متى كان غير مشوب بغيره من الألوان للرجال دون النساء
Sebagian Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat dengan pendapat makruhnya memakai pakaian merah selama tidak ada campuran warna lain, ini berlaku buat kaum pria bukan wanita. (Al Mausu’ah, 6/132)
Alasannya sebagai berikut:
1. Al Bara bin ‘Azib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
نهانا النبي صلى الله عليه وسلم عن المياثر الحمر والقسي
Nabi ﷺ melarang kami memakai ranjang berwarna merah dan pakaian campuran sutera. (HR. Al Bukhari No. 5838)
2. Dari Abdullah bin Amr Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
مَرَّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ عَلَيْهِ ثَوْبَانِ أَحْمَرَانِ، فَسَلَّمَ عَلَيْهِ، فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Lewat di hadapan Nabi ﷺ seorang laki-laki yang memakai dua lembar pakaian berwarna merah, dia mengucapkan salam kepadanya, tetapi Nabi ﷺ tidak menjawabnya. (HR. At Tirmidzi No. 2807, katanya: hasan gharib. Abu Daud No. 4069, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 7399. Katanya: shahih. Disepakati oleh Imam Adz Dzahabi penshahihannya. Tetapi, didhaifkan oleh Syaikh Al Albani. (Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2807. Al Hafizh Ibnu Hajar menilainya cacat, karena ada seorang perawi yang dha’if. (Fathul Bari, 10/306) )
Imam At Tirmdzi berkata:
وَمَعْنَى هَذَا الحَدِيثِ عِنْدَ أَهْلِ العِلْمِ أَنَّهُمْ كَرِهُوا لُبْسَ الْمُعَصْفَرِ، وَرَأَوْا أَنَّ مَا صُبِغَ بِالحُمْرَةِ بِالمَدَرِ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ، فَلاَ بَأْسَ بِهِ إِذَا لَمْ يَكُنْ مُعَصْفَرًا.
Maksud hadits ini adalah, menurut para ulama, mereka memakruhkan pakaian yang tercelup oleh ‘ushfur (merah), dan mereka memandang tidak mengapa pakaian celupan merah atau selainnya jika bukan berasal dari ‘ushfur (mu’ashfar). (Sunan At Tirmidzi No. 2807)
Pendapat Kedua. Sebagian Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah mengatakan BOLEH.
وذهب بعض الحنفية والمالكية والشافعية إلى القول بجواز لبس الثوب الأحمر الخالص غير المزعفر والمعصفر
Sebagian Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah berpendapat BOLEHnya pakaian berwarna merah murni tanpa tercampur oleh za’faran dan ‘ushfur. (Al Mausu’ah, 6/132)
Dalilnya adalah:
1. Dari Al Bara bin ‘Azib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرْبُوعًا، وَقَدْ رَأَيْتُهُ فِي حُلَّةٍ حَمْرَاءَ، مَا رَأَيْتُ شَيْئًا أَحْسَنَ مِنْهُ
Nabi ﷺ adalah orang yang berperawakan sedang, aku pernah melihatnya tengah memakai hullah (pakaian) berwarna merah, aku belum pernah lihat siapa pun yang setampan dirinya. (HR. Al Bukhari No. 5848)
Imam Ibnu Rajab mengutip dari Abu ‘Ubaid, katanya: “Hullah di sini adalah dua lapis pakaian yaitu kain (Izaar) dan selendang (Ridaa’). Tidak dinamakan Hullah kalau belum dua pakaian. Selesai.” (Fathul Bari, 2/436)
2. Dari Abu Juhaifah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
….وخرج رسول الله – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – في حلة حمراء مشمرا، صلى إلى العنزة بالناس ركعتين، ورأيت الناس والدواب يمرون بين يدي العنزة.
“ … Dan Rasulullah ﷺ keluar dengan memakai HULLAH berwarna merah sepanjang sampai setengah betis, Beliau shalat menghadap tombak bersama manusia sebanyak dua rakaat, aku melihat orang-orang dan hewan lalu lalang di depan tombaknya. (HR. Bukhari No. 376, Muslim No. 503)
Menurut Imam Ibnu Rajab, riwayat ini menjadi dalil bolehnya shalat memakai pakaian merah (Ats Tsaub Al Ahmar). (Fathul Bari, 2/436)
Walau pun di hadits ini di sebut HULLAH, tetapi Imam Ibnu Rajab memahami secara umum pakaian, bukan hanya model hullah. Karena memang saat itu jenis seperti hullah biasa dipakai. Hanya saja, definisi HULLAH MERAH dalam hadits ini oleh Sufyan Ats Tsauri dikatakan: mantel celupan tinta (Burdul Hibrah). Saat itu, yang dipakai oleh Nabi ﷺ adalah mantel merah yang memiliki garis-garis, bukan merah seluruhnya. (Ibid, 2/437)
3. Dari Hilal bin ‘Amir, dari ayahnya, katanya:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِنًى يَخْطُبُ عَلَى بَغْلَةٍ، وَعَلَيْهِ بُرْدٌ أَحْمَرُ …..
Aku melihat Rasulullah ﷺ di Mina berkhutbah di atas Bighalnya, dan dia memakai mantel merah …. (HR. Abu Daud No. 4073. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)
Imam Ibnul Qayyim menganggap bahwa mantel merah di sini adalah tidak polos, ada corak garisnya. Beliau pun menyalahkan para ulama yang menganggapnya polos. Pendapat Imam Ibnul Qayyim ini di kritik oleh para ulama, di antaranya Imam Asy Syaukani, seperti yang dikutip Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim, kata beliau:
وقد زعم بن القيم أن الحلة الحمراء بردان يمانيان منسوجان بخطوط حمر مع الأسود وغلط من قال إنها كانت حمراء بحتا قال وهي معروفة بهذا الاسم ولا يخفاك أن الصحابي قد وصفها بأنها حمراء وهو من أهل اللسان والواجب الحمل على المعنى الحقيقي وهو الحمراء البحت
Ibnul Qayyim menyangka bahwa pakaian merah di sini adalah dua mantel Yaman yang terdapat jalinan garis warna merah dan hitam, dan salah pihak yang mengatakan bahwa itu adalah merah polos. Beliau (Asy Syaukahi) berkata: Hal ini sudah dikenal dengan nama ini, dan bukanlah rahasia lagi bahwa sahabat nabi telah mensifatinya bahwa pakaian itu adalah merah, dan dia pemilik bahasanya, maka wajib memaknainya dengan makna hakiki bahwa itu adalah MERAH POLOS. (‘Aunul Ma’bud, 11/85)
Kesimpulannya:
1. Jika merahnya berasal dari ‘ushfur secara total (polos) sebagian ulama melarangnya.
2. Jika merahnya bukan berasal dari ‘ushfur walau total (polos) sebagian ulama memandang tidak apa-apa.
3. Jika merahnya bergaris dan bercorak, baik dari ‘ushfur atau bukan, sama saja yakni tidak apa-apa.
Mengambil yang hati-hati lebih baik dan aman, yaitu tetap menghindari yang polos, agar keluar dari perselisihan. Hari ini pun kelihatannya, tidak ada orang (pria) yang benar-benar memakai merah total dari atas sampai ke bawah (seperti pendekar), baik kemeja dan celana panjangnya, atau gamisnya, melainkan biasanya sudah ada kombinasinya.
Wallahu A’lam
(Ind/alfahmu)