TOLERANSI tidak pada tempatnya dijelaskan oleh Ustaz Aunur Rafiq Saleh.
Di zaman dahulu, seorang penjaga menara pantai bekerja di sepanjang pantai berbatu karang.
Setiap bulan ia mendapat pasokan minyak untuk menyalakan lampu menara agar kapal-kapal ridak mendekati pantai berkarang tersebut.
Karena ia berada tidak terlalu jauh dari pantai, orang-orang sering mengunjunginya.
Di suatu malam, seorang wanita dari kampung sebelah datang meminta sedikit minyak untuk keperluan keluarganya.
Tidak lama setelah itu seorang bapak mendatanginya dan meminta sedikit minyak darinya untuk menyalakan lenteranya.
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Kemudian datang lagi seorang lelaki meminta sedikit minyak untuk meminyaki roda sepedanya.
Demikianlah setiap permintaan selalu dipenuhi sehingga persediaan minyak di akhir bulan tidak mencukupi kebutuhan.
Tiba-tiba lampu menara padam hingga di malam itu banyak kapal hancur menabrak karang dan memakan banyak korban.
Ketika diinvestigasi, sang penjaga menara merasa sangat menyesal atas peristiwa yang terjadi.
Sekalipun berkali-kali sang penjaga pantai meminta maaf tetapi selalu diingatkan, “Kami beri kamu minyak untuk menjaga agar lampu menara tetap menyala, bukan untuk dibagikan kepada orang-orang.”
Pesan Moral:
Di dalam setiap aspek kehidupan selalu ada “garis merah” (red line) yang tidak boleh dilanggar, demi tegaknya kemaslahatan besar dan tegaknya nilai-nilai utama yang terkait aspek tersebut.
Sekalipun demikian, ruang toleransi yang ada selalu lebih luas dibanding “garis merah” yang ditetapkan.
Di dalam kehidupan demokrasi, demontrasi dibolehkan tetapi ada “garis merah” yang tidak boleh dilanggar yaitu melakukan demo di dalam kawasan istana negara.
Semua mematuhinya dan tidak ada yang mengatakan negara intoleran.
Toleransi Tidak Pada Tempatnya
Di dunia pendidikan, orang tua tidak mengijinkan anak kecilnya merokok, demi tegaknya kemaslahatan anak.
Dan tidak ada yang mengatakan orang tua intoleran.
Demikian pula dalam kehidupan antar umat beragama.
Sesungguhnya ajaran Islam tentang toleransi sangat luas dan sempurna.
Jika diterapkan dengan benar sudah cukup menunjukkan dan membuktikan betapa toleransinya kaum muslimin.
Sehingga tidak perlu melakukan toleransi tidak pada tempatnya.
Islam tidak melarang kaum muslimin berbuat baik dan berlaku adil kepada non muslim (al-Mumtahanah: 88).
Islam melarang berbuat zalim kepada siapa pun (al-Maidah: 8).
Islam melarang penguasa muslim memaksa seseorang untuk masuk Islam (al-Baqarah:256).
Dalam hubungan sosial, Islam tidak melarang kaum muslimin memberikan bantuan kepada non muslim, apalagi di saat bencana.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah memberikan sekantong gandum kepada kaum musyrik Mekah ketika musim paceklik dan mengirim limaratus dinar.
Baca juga: Koreksi terhadap Kaidah Toleransi
Beliau menyuruh bantuan itu diserahkan kepada Abu Sufyan dan Shafwan bin Umaiyah.
Abu Sufyan menerima namun Shafwan menolak.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga pernah membesuk seorang anak Yahudi yang sakit (Musnad Ahmad 13977).
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga menerima hadiah dari orang-orang musyrik dan menghadiahkan sesuatu kepada mereka (lihat riwayat Bukhari bab al-hibah lil musyrikin ).
Dan masih banyak lagi ajaran toleransi dalam Islam terkait hubungan sosial.
Tetapi sangat disayangkan ada sebagian muslim yang memberikan toleransi tidak pada tempatnya, dengan misalnya menghadiri acara natalan atau misa di gereja, mengucapkan selamat natal tanpa darurat apa pun, mengatakan jihad qital dalam Islam sudah tidak relevan, menikahkan anak putrinya dengan non muslim, mendukung perjudian dan pernikahan sesama jenis, dengan alasan toleransi.
Padahal ini semua termasuk toleransi tidak pada tempatnya.
Toleransi tidak pada tempatnya bisa membahayakan kapal umat Islam, khususnya bagi kalangan awam.
Jika seorang muslim tidak mengucapkan selamat natal, itu tidak berarti dia tidak toleran, karena toleransi ada tempatnya sendiri.
Tindakan toleransi tidak pada tempatnya biasanya dilakukan oleh seorang muslim karena kebodohan, atau karena mengalami kekalahan mental (hazimah dakhiliyah) hingga merasa minder di hadapan orang lain lalu kehilangan jati diri sebagai muslim, atau karena lemah iman hingga tidak berani bersikap tegas.
Padahal sikap tegas di sini tidak bertentangan dengan ajaran toleransi Islam.
Karena ketegasan ada tempatnya (baca surat al-Kafirun) sebagaimana toleransi juga ada tempatnya sendiri.[Sdz]