SUBUH di musim gugur. Bagaimana suasana subuh di Uzbekistan? Uttiek M. Panji Astuti membagikan cerita perjalanannya berikut ini.
“Gludak…. gludak.” Terkejut saya menoleh ke belakang. Tetiba terlihat anak muda yang melaju kencang di atas skateboard-nya.
Memakai hoodie dan topi, terlihat kontras dengan jamaah lain yang rerata memakai doppa atau peci khas Asia Tengah.
Rasa hangat menyusup di hati, menghalau dingin udara pagi ini. Gen Z dengan skateboard-nya pergi ke masjid untuk berjamaah Subuh di musim gugur yang dingin.
Alhamdulillah.
Pukul 03.30 dini hari, Uzbekistan Airways HY 542 yang saya tumpangi bersama rombongan dari @muslimsafarproject mendarat di Islam Karimov Int’l Aiport, Tashkent-Uzbekistan setelah terbang 8 jam 30 menit.
Rombongan ini akan melakukan perjalanan menyusuri beberapa kota di Uzbekistan, Samarkand-Bukhara-Khiva-Taskent, dengan saya dan Ust @edgarhamas yang akan membagikan kisah dan mentadaburinya langsung di tempat sejarah itu dicatatkan.
Ah, sangat menyenangkan!
Baca juga: Catatan Perjalanan dari Desa Gijduvan, Pusat Keramik Tradisional Uzbekistan
Subuh di Musim Gugur
Berisik suara orang-orang yang bercakap dalam bahasa Uzbekistan bercampur Rusia terasa akrab di telinga.
Setiap kali menginjakkan kaki di negeri ini, ada kehangatan yang menyusup. Keramahan mereka betul-betul dari hati.
Setelah bertemu dengan @sanjar.indonesia di airport, tujuan pertama kita adalah Novza Masjidi, salah satu masjid terbesar dan terbaru di Tashkent.
Saya ingat ketika melakukan riset untuk penulisan buku Journey to Samarkand beberapa tahun lalu, masjid ini baru diresmikan.
“Mayoritas penduduk Uzbekistan bermazhab Hanafi, jadi perempuannya biasanya shalat di rumah, tidak pergi ke masjid,” kata Syahsod, mahasiswa Uzbekistan, murid Sanjar yang baru menyelesaikan beasiswanya dari Universitas Islam Malang, memberikan penjelasan mengapa jamaah perempuan tidak shalat di dalam ruang masjid.
Ia sibuk menyalakan lampu untuk menerangi basement menuju ruang shalat perempuan. Ruang shalat itu hanya salah satu dari banyak ruangan di basement yang sepertinya difungsikan sebagai ruang perkantoran masjid.
View this post on Instagram
Ada tempat wudhu yang bersih dengan lima kran berjejer di sebelah ruang shalat.
Sandal karet berwarna hitam bisa digunakan untuk berwudhu. Beberapa sutroh kecil berbentuk bulan sabit, mengingatkan saya pada nisan yang banyak terlihat di pemakaman di Turki.
“Ini sudah azan apa belum?” Rombongan mulai bertanya-tanya, karena dari basement tak terdengar suara sama sekali.
Sampai muncullah seorang perempuan Uzbekistan yang tersenyum ramah dan langsung mengambil posisi shalat.
“Ibu ini mungkin istri ketua takmir masjid, karena jam segini sudah ke masjid,” batin saya.
Di musim gugur seperti sekarang ini, matahari baru bersinar pukul 06.30, jalanan masih sangat lengang bila dibandingkan dengan Jakarta, yang jam 5 subuh pun sudah hiruk pikuk.
Usai shalat dan berdzikir, ibu itu kembali tersenyum ramah dan segera beranjak pergi. Saya mencoba bertanya apakah sudah azan Subuh?
Namun seperti umumnya orang Uzbekistan, ia tak paham bahasa Inggris.
“Kalau dia sudah pergi, berarti sudah Subuh, kali,” seru rombongan.
Sebagaimana di Turki yang juga bermazhab Hanafi, mereka memang mengakhirkan waktu shalat Subuh.
Dalam mazhab Hanafi, keutamaan waktu shalat Subuh itu menjelang waktu surq. Shalat Subuh jam 5.35 itu terasa sangat siang bagi orang Jakarta.
Pemandangan usai shalat di pelataran masjid sungguh membahagiakan.
Sekalipun tak sebanyak jamaah Subuh di Indonesia, namun sekali lagi saya menyaksikan, sekalipun komunis Soviet berusaha dengan segala cara ingin melenyapkan cahaya hidayah di negara-negara jajahannya, tapi Allah Sang Pemilik Cahaya tak akan pernah mengizinkannya.
Anak muda ber-hoodie dan membawa skateboard itu serta ibu “ketua takmir masjid” tadi membuktikannya.
Di Subuh yang dingin, hangat cahaya hidayah menghangatkan langkah kaki mereka ke rumah Allah.[ind]