SEPERTI apa sisi teoritis rahmat? Sikap rahmat (kasih sayang) adalah akhlak yang mendorong seseorang bisa merasakan sakit yang diderita oleh orang lain.
Dengan itu, ia berusaha untuk menghilangkan rasa sakit. Rahmat itu sendiri memiliki pengertian sebuah keadaan psikis yang pada umumnya dimiliki oleh orang yang berhati lembut, dan menjadi langkah awal bagi terciptanya jiwa penyayang yang juga menjadi awal mula sikap ihsan.
Baca Juga: Lirik dan Terjemahan Lagu Rahmatun Lil’Alameen – Maher Zain, Viral di TikTok
Sisi Teoritis Rahmat
Rahmat sendiri merupakan sifat Allah. Allah adalah Ar-Rahman (Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang). Sikap rahmat dan cinta yang ditampakkan makhluk-Allah di muka bumi pada hakikatnya adalah pancaran dari pengaruh sifat rahmat-Nya Allah yang maha Rahman.
Dalam beberapa tempat di dalam Al-Qur’an, Allah mengisyaratkan pentingnya sifat rahmat ini. Allah berfirman:
“Dan Tuhnmu-lah yang Maha Pengampun, lagi mempunyai rahmat, jika Dia mengazab mereka karena perbuatan mereka, tentu Dia akan menyegerakan azab bagi mereka. Tetapi bagi mereka ada waktu yang tertentu (untuk mendapat azab) yang mereka sekali-kali tidak akan menemukan tempat berlindung daripadanya.” (Al-Kahfi: 33)
Sebagaimana biasa, Al-Qur’an menyampaikan janji-janji yang berisi harapan dengan janji-janji yang berisi ancaman, dan sebaliknya.
Setelah menyampaikan ancaman karena hamba melakukan maksiat, Allah menunjukkan kelembutan-Nya dengan mengingatkan mereka akan adanya harapan untuk mendapatkan ampunan.
Tujuannya, agar para hamba itu berpikir tentang keridhaan Allah, dan agar hamba tahu bahwa Allah menganugerahkan kepada mereka kasih-sayangnya.
Dan, dalam batas waktu tertentu, hukuman Allah diakhirkan. Tujuannya, agar para hamba sadar dan bertaubat dari kesesatannya. Agar mereka merenungkan segala nikmat Allah, lalu mensyukurinya.
Khitthab dalam firman Allah menunjukan kepada Nabi, “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka.” (Al-Anfal: 33)
Dalam bagian lain Al-Qur’an, Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan.
Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan mungkar. sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (An-Nur: 21)
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa jika bukan karena karunia dan kasih sayang-Nya, maka Dia tidak akan membersihkan hamba yang dikehendaki-Nya.
Hal ini mengandung pengertian, bahwa seorang hamba sekali-kali tidaklah mampu membersihkan dirinya sendiri tanpa kehendak dari Allah.
Nabi datang dengan membawa misi kasih-sayang yang selama beberapa masa hilang dari kehidupan manusia. Sebelumnya kedatangan Islam, masyarakat berperilaku keras dan tak mengenal kasih-sayang kepada kaum lemah dan miskin, tak peduli dengan permasalahan yang dilanda kaum miskin.
Maka, datanglah Islam untuk melembutkan hati manusia yang telah mengeras itu, dan mendidik akhlaknya. Islam datang dengan membawa sayang kepada orang lemah dan menolong kaum miskin.
Karena itu, Allah mengutus Muhammad agar menjadi penyayang bagi kaum lemah dan penolong bagi kaum yang membutuhkan. Allah Ta’ala berfirman:
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (At-Taubah: 128)
Beliau senantiasa menanamkan benih-benih sifat kasih-sayang di dalam hati para sahabatnya. Abu Hurairah berkata, “Nabi bersabda, “Ketika Allah menciptakan makhluk, Dia menulis dalam kitab-Nya-dan Dia berada di sisinya di atas arsy-“Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemarahan-Ku).”
Inilah sisi teoritis tentang rahmat. [Cms]
(Sumber: Golden Stories Kisah-Kisah Indah Dalam Sejarah Islam, Mahmud Musthafa Sa’ad & Dr. Nashir Abu Amir Al-Humaidi, Pustaka Al-Kautsar)