DALAM sejarah Islam, banyak ditemukan kepahlawanan para pemuda yang melampaui perkiraan manusia di masa sekarang.
Siapa sangka di antara pasukan yang terdiri dari Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, ada seorang pemimpin pasukan bernama Usamah bin Zaid yang berusia tidak lebih dari 17 tahun.
Saat Usamah sedang menunggang kudanya, sedangkan khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq berjalan kaki, Usamah berkata, “Wahai penerus Rasulullah, kamu akan naik atau aku akan turun.”
Lalu Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, jangan engkau turun dan aku tidak naik. Biarkan telapak kakiku ini dipenuhi debu sabilillah beberapa saat.”
Inilah sejarah umat Islam, sosok pemuda 17 tahun yang memimpin para sahabat terkemuka.
Baca Juga: Kepahlawanan Abu Bakar Ash-Shiddiq Saat Hijrah
Sejarah Islam Mencatat Kepahlawanan Para Pemuda
Umat Islam adalah bangsa terbaik yang dihadirkan untuk masyarakat, namun saat ini umat Islam justru tertindas.
Oleh karena itu, dibutuhkan kehadiran generasi yang mau membantu kebangkitan umat ini dengan ilmunya, ketulusannya, kesetiaannya dan keberpihakannya pada syariat. Itulah sebabnya Usamah bin Zaid menjadi panglima pasukan.
Syaik Rathib An-Nabulsi pernah mengatakan, “Dalam Islam, anak kecil adalah pahlawan, dan anak laki-laki adalah pahlawan, pemuda adalah pahlawan, orang tua adalah pahlawan, dan semua orang yang menganut agama ini dimuliakan oleh Allah dengan pengabdiannya.”
Seorang pemuda yang ayahnya syahid dalam Perang Uhud. Ibunya menikah lagi dengan seorang kaya dari suku Aus. Ayah tirinya itu melimpahinya dengan kehormatan yang besar setelah itu. Dia sangat mencintai anak tirinya itu. Pemuda ini juga menjadi terikat pada ayah tirinya.
Dalam salah satu pertempuran, para sahabat melakukan persiapan dengan matang. Namun pemuda ini tidak melihat ayah tirinya turut melakukan persiapan.
Pemuda itu lalu mengingatkannya tentang perbuatan para sahabat seperti Utsman, Abdul Rahman bin Auf dan sahabat lainnya yang kaya raya memberikan banyak harta untuk keperluan perang.
Namun ayah tirinya itu tetap duduk, tidak bergerak dan berkata,
“Demi Allah, jika Muhammad benar tentang apa yang ia katakan, maka kami lebih buruk dari keledai (maksudnya adalah ayat-ayat yang turun tentang orang-orang munafik yang tidak ikut perang).” Ini adalah perkataan sebuah perkataan kekafiran yang menghina Nabi Muhammad.
Lalu pemuda itu berkata, “Wahai paman, demi Allah, tidak ada seorang pun di muka bumi ini setelah Rasulullah yang lebih aku cintai daripada kamu. Dan sekarang, kamu justru mengucapkan kalimat kekafiran.”
“Aku akan menemui Rasulullah untuk menyampaikan kepadanya apa yang kamu katakan, sehingga kamu dapat mengatur urusanmu,” ucap pemuda tersebut.
Maka dia menemui Nabi Muhammad saw. dan menceritakan apa yang dikatakan ayah tirinya yang juga pamannya.
Lalu Nabi saw. memanggilnya dan berkata, “Apa yang kamu katakan?” Dia berkata: Demi Allah, aku tidak mengatakan apa-apa. Dia berbohong.”
Namun, Nabi saw. mengetahui bahwa apa yang dikatakan pemuda itu adalah sebuah kebenaran hingga turunlah surah At-Taubah ayat 74, yang berbunyi:
يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ مَا قَالُوا وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلَامِهِمْ وَهَمُّوا بِمَا لَمْ يَنَالُوا وَمَا نَقَمُوا إِلَّا أَنْ أَغْنَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ مِنْ فَضْلِهِ فَإِنْ يَتُوبُوا يَكُ خَيْراً لَهُمْ وَإِنْ يَتَوَلَّوْا يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ عَذَاباً أَلِيماً فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَا لَهُمْ فِي الْأَرْضِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
“Mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakiti Nabi Muhammad).
Sungguh, mereka benar-benar telah mengucapkan perkataan kekafiran (dengan mencela Nabi Muhammad) dan (karenanya) menjadi kafir setelah berislam.
Mereka menginginkan apa yang tidak dapat mereka capai. Mereka tidak mencela melainkan karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka.
Maka, jika mereka bertobat, itu lebih baik bagi mereka. Jika berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat. Mereka tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di bumi.”
Lalu laki-laki itu bertaubat dan mengatakan, “Anak laki-laki itu mengatakan yang sebenarnya, maka maafkan aku atas hal itu.”
Rasulullah memegang telinga si pemuda, membelainya seraya berkata, “Wahai Nak, Allah telah menyampaikan kebenaran kepadamu dari atas tujuh langit.” Pertaubatan laki-laki yang kaya ini ada di tangan pemuda tersebut.
Lihatlah betapa umat Islam melahirkan sosok pemuda yang berani menyampaikan kebenaran walaupun harus bersitegang dengan orang terdekatnya.
Bahkan Allah membelanya dengan menurunkan wahyu untuk membuktikan kebenaran perkatannya.
[Ln]