Alasan Rasulullah SAW Tidak Pernah Mengimpor Makanan
BANYAK strategi Rasul shallallahu ‘alaihi wa salam dalam membangun ekonomi Madinah, salah satunya mengoptimalkan produksi makanan yang tumbuh di tempatnya hijrah.
Dalam kajian Mabit (Malam Bina Iman dan Taqwa) bulanan dengan tema “Syamail dan Akhlak Rasul”, Ustadz Asep Sobari, selaku pendiri Sirah Community Indonesia (SCI) menjabarkan pengaruh kebiasaan makan Rasulullah yang menjadi pendukung pertumbuhan ekonomi di Madinah.
Baca Juga: Posisi Aisyah di Hati Rasulullah
Alasan Rasulullah SAW Tidak Pernah Mengimpor Makanan
Menariknya paparan beliau bersumber dari kitab Zaadul Ma’ad karya Ibn Qayyim, seorang ulama dan juga tabib Muslim sekitar 7 abad lalu.
Penjabaran analisa ini, berawal dari kisah perjalanan Rasul yang pernah dimasaki dan dihadiahi daging dhab (sejenis biawak) oleh sahabatnya.
Namun, Rasul hanya diam dan tidak memakannya. Para sahabat pun penasaran dan bertanya, “apakah daging ini haram?” Rasul menjawab, “itu bukan makanan kami di Madinah, tapi makanlah kalian”
Ibn Qayyim meneliti dari jawaban Rasul, “makanan itu bukan makanan kami di Madinah” dan pernyataan Rasul lainnya, “aku tidak terbiasa makan makanan yang tidak dimakan oleh kaumku.”
Artinya Rasul hanya suka makanan yang tumbuh di sekelilingnya saja sehingga beliau hanya mengandalkan komoditas di tempat tinggalnya saja.
Hikmah Allah menumbuhkan makanan, buah-buahan yang berbeda di setiap negeri, karena tentu kondisi di tempat itu berbeda-berbeda dari cuacanya, kondisi alamnya, dll.
Dan otomatis itu akan berpengaruh pada tubuh manusia di tempat yang berbeda pula. Masalah dasarnya adalah ketika Allah memberi rizki di tempat itu, artinya itu yang lebih cocok untuk kesehatan, pertumbuhan, dan kecukupan gizi orang setempat.
Maka kesimpulannya adalah sebaik-baik makanan yang dikonsumsi manusia ialah makanan yang diproduksi oleh sekitarnya.
Sehingga kita tidak usah berlebih-lebihan untuk import kecuali memang kekurangan karena faktor alam berupa musibah, kekeringan, bukan karena faktor manusianya yang teledor, tegas Ustadz Asep.
Jadi Rasul tidak suka yang aneh-aneh, tidak perlu import selama ada makanan yang dihasilkan.
Inilah yang nantinya menjadi bagian menarik pada kurma ajwa, mengapa menjadi sangat populer bukan hanya bagi penduduk Madinah, tapi juga oleh Muslim di negara manapun, sampai orang Indonesia menyebutnya sebagai kurma Nabi. Meskipun asalnya di Madinah tidak disebut sebagai kurma Nabi.
Ibn Qayyim telah meneliti keistimewaan kurma ajwa. Ternyata Rasul memang memberikan keistimewaan yang lebih bagi kurma ajwa.
Rasul sebagai pemimpin Madinah pernah mendoakan secara khusus makanan pokok yang dihasilkan, yakni kurma,”Ya Allah berkahilah kurma di Madinah, siapa yang pagi hari (sebelum makan apa-apa), memulai dengan memakan tujuh butir kurma ajwa maka ia akan terhindar dari sihir.”
Dari do’a Rasul ini menunjukkan bahwa seluruh kurma di Madinah diberkahi dan kekhususan penyebutan kurma ajwa memberikan sifat tambahan padanya. Mengapa Rasul mengkhususkan menyebut kurma ajwa diantara nama kurma lainnya? Karena awalnya kurma ajwa tidak disukai penduduk Madinah.
Ketika Nabi tiba di Madinah dari semua kurma yang ada, kurma ajwa yang paling tidak laku. Sedangkan kurma ajwa hanya tumbuh subur di Madinah, tapi orang Madinah kurang suka.
Padahal kurma bisa bertahan selama setahun. Hal ini sangat berpengaruh pada ekonomi dan ketahanan pangan penduduk Madinah jika berhenti diproduksi.
Seperti kita sekarang, dari dulu produksi singkongnya subur. Sekarang malah singkong diimport.
Ini masalah besar, makanya Rasul menyebut ajwa dalam do’anya agar orang-orang di Madinah menyukainya dan memakannya.
Sehingga mereka pun menyukai ajwa dan bahan pangan orang-orang Madinah pun tetap stabil.
Rasul sebagai pemimpin berusaha mencegah kemungkinan import makanan serta kekurangan pangan, oleh sebab itu beliau memotivasi penduduk Madinah untuk menyukai kurma ajwa.
Kesimpulan dari hasil penelitian Ibn Qayyim tentang pentingnya kebiasaan makan Rasulullah Saw ini selain berpengaruh pada ketahanan pangan, ekonomi dan politik, juga berpengaruh pada kecocokan tubuh kita.
“Kalau buah-buahan dan makanan kita import, justru itu lebih mudharat bagi tubuh kita. Memang dalam hal ini harus diakui butuh pembuktian-pembuktian lebih mendalam, karena terkait masalah gizi. Silahkan bagi yang jurusan Biologi untuk lebih mendalami hasil penelitian Ibn Qayyim,” arahan Ustadz Asep.
Zaili Fitria (Catatan inspirasi kajian Sirah Community) [Ind/Ln]