MUSIBAH kereta api terjadi di jalur indah di Jawa Barat. KA lokal Bandung Raya ‘adu banteng’ dengan KA eksekutif Turangga Bandung Surabaya di kawasan Cicalengka, Jumat (5/1). Dikabarkan empat orang tewas: dua masinis dan dua asisten masinis, dan sebanyak 37 penumpang dilarikan ke RS terdekat.
Musibah dahsyat ini menarik perhatian banyak pengamat perkereta-apian. Boleh dibilang, kasus ‘adu banteng’ tergolong yang pertama kali terjadi di jalur ini dan mungkin di jalur lain, kecuali yang pernah terjadi di kasus Bintaro Tangerang tahun 1987 silam.
Tentu teknologi saat itu jauh tertinggal dengan teknologi saat ini yang serba digital, untuk teknologi kereta maupun alat komunikasinya.
Prinsipnya, tidak boleh ada dua kereta di jalur tunggal seperti yang dilalui dua kereta itu. Baik dalam satu arah, apalagi arah yang berlawanan. Dan kereta yang kelasnya lebih rendah biasanya mengalah. Kecuali karena ada urgensi yang darurat. Semua di kawasan itu diatur melalui pusat kontrol yang ada di Bandung.
Meski jalur tunggal, lintas selatan dari Bandung ini merupakan perjalanan kereta yang sangat diminati. Terutama mereka yang ingin berwisata melalui transportasi kereta.
Jalur ini melalui rute-rute indah nan hijau: persawahan, pegunungan, sungai, bahkan sejumlah terowongan. Tikungan di jalur ini pun tergolong yang sangat menarik perhatian para pelancong. Seperti tikungan di jalur mendekati Garut.
Apakah kereta lokal seperti Bandung Raya itu menyita pemakaian jalur itu? Jangan membayangkan kereta lokal seperti Bandung Raya mirip dengan KRL Jabodetabek yang super sibuk. Karena KA Bandung Raya hanya berangkat tiga kali sehari.
Yang justru lebih banyak adalah KA yang eksekutif jarak jauh, seperti KA Turangga yang bolak-balik dari Bandung ke Surabaya. Masih banyak KA lain, seperti yang menuju Solo dan Yogya.
Nuansa wisata sepertinya sangat tepat untuk KA-KA yang melalui jalur itu. Seperti KA Turangga yang memiliki fasilitas gerbong Panoramik dengan harga tiket sekitar 1,2 juta rupiah per orang.
Namun begitu, jalur lintas selatan nan indah ini bukan tanpa kekurangan. Selain karena hanya satu jalur, jalur ini juga rawan terganggu bencana alam lokal: longsor, dan lainnya. Tidak jarang juga terjadi kereta yang anjlok karena masalah rel, tikungan, dan lintasan.
Pertanyaan utamanya: kenapa bisa terjadi musibah ‘adu banteng’ dua KA di kawasan Cicalengka? Padahal, jarak antara Cicalengka dengan Bandung sekitar 30 kilometer atau sekitar satu jam perjalanan kereta.
Dengan kata lain, kawasan Cicalengka tidak jauh-jauh banget dari pusat kontrol di Bandung itu. Dan KA-KA jarak jauh yang melewati jalur itu seperti KA Turangga, merasakan kawasan Cicalengka sebagai pertanda perjalanan akan berakhir.
Kecelakaan itu terjadi sekitar jam 06 pagi. Untuk kereta lokal mungkin sebagai waktu yang masih segar. Tapi untuk KA jarak jauh yang akan menuju Bandung, jam itu merupakan waktu yang paling melelahkan.
Begitu pun dengan pusat kontrol di Bandung. Memang belum diketahui jadwal piket jaga kontrol. Apakah jam segitu seperti KA lokal yang masih fresh, atau seperti KA dari Surabaya yang sudah sangat melelahkan.
Kita tunggu jawaban lengkapnya melalui penyelidikan KNKT yang akan digandeng pihak KAI. Semoga tidak ada pihak yang dikambinghitamkan seperti yang pernah dicatat dalam kasus di tragedi Bintaro 36 tahun silam.
Dan semoga, musibah ini tidak terulang di waktu yang akan datang. Karena transportasi kereta dianggap memang yang paling aman. [Mh]