ChanelMuslim.com- Dampak pandemi tidak hanya memukul sektor kesehatan dan ekonomi. Ada sektor lain yang juga tidak kalah babak belurnya, yaitu pendidikan. Setelah hampir enam bulan berlalu, cara pembelajaran jarak jauh (PJJ) mulai diragukan. Kini, pembelajaran tatap muka (PTM) mulai akan kembali diterapkan.
Sejak bulan Maret lalu, proses pendidikan secara nasional menerapkan pola PJJ. Hal ini dilakukan untuk memutus mata rantai penyebaran wabah Covid-19. Dan setelah hampir enam bulan bergulir, PJJ pun mulai dirasakan kelemahan dan kekurangannya. Dikhawatirkan, generasi PJJ saat ini kian menjauhkan target ideal kesuksesan pendidikan.
Kenapa? Karena data yang menunjukkan bahwa 57 persen tenaga pendidik tidak siap menerapkan PJJ, hanya dari satu sisi saja. Dari sisi siswa dan orang tua, boleh jadi, jauh lebih tidak siap lagi. Hal ini karena kian dirasakan bahwa PJJ butuh biaya besar. Mulai dari harga hp dan laptop yang masih tergolong barang mahal untuk sebagian besar rakyat Indonesia, kesiapan jaringan internet pun masih memble.
Kalau pun hp dan laptop bisa diusahakan oleh orang tua dengan cara apa pun, ternyata biaya pulsa juga tidak murah. Per pekan, biaya pulsa bisa menelan biaya 25 ribu rupiah, atau 100 ribu sebulan. Itu untuk satu anak, bagaimana jika ada lebih dari 3 anak yang masih sekolah. Jangan-jangan, biaya pulsa berlipat-lipat mahalnya dari biaya bulanan sekolah itu sendiri.
Tidak heran jika sejumlah kepala daerah mulai akan menerapkan PTM mulai Agustus ini. Di antara mereka adalah Jawa Barat. Pemprov yang dipimpin Ridwan Kamil ini akan memulai PTM di 257 kecamatan berzona hijau di seluruh Jawa Barat.
Bahkan, dikabarkan bahwa Pemkot Malang sedang melaksanakan simulasi untuk membuka kembali sekolah. Meskipun, wilayah ini masih tergolong dalam daftar zona merah.
Walau berada di zona hijau pun, tidak ada jaminan pembukaan sekolah akan steril dari potensi penyebaran wabah. Karena penularan oleh virus bisa terjadi kapan saja, di mana saja, dan siapa saja. Penularan bisa terjadi di angkutan umum yang ditumpangi siswa atau guru, melalui pegawai sekolah, dan lainnya.
Namun begitu, kemungkinan besar, tak lama lagi akan ada sederet wilayah lain yang akan ikutan membuka sekolah. Baik itu kota maupun kabupaten. Terlebih lagi, wilayah yang sebagian besar kawasannya memang masih langka jaringan internet.
Para kepala daerah tentu memahami kendala menerapkan PTM tidak kalah beratnya dengan PJJ. Mulai dari kesiapan sarana sekolah yang sesuai dengan protokol kesehatan, dan itu butuh biaya mahal; hingga risiko terjadinya kluster baru penyebaran wabah di sekolah. Inilah dilemma sektor pendidikan yang tidak mudah diselesaikan.
Sejatinya, baik dengan cara PJJ maupun PTM, strategi pelaksanaan pendidikan di masa pandemi merupakan wewenang besar Kemendikbud. Namun, rakyat belum melihat ada hal besar yang dilakukan oleh kementerian yang dipimpin oleh sosok yang dikenal berpengalaman dalam dunia IT ini.
Rakyat hanya merasakan bahwa PJJ mahal dan gelap, sementara PTM berpotensi bahaya. Yang pernah didengar rakyat hanya penjelasan standar bahwa sekolah hanya boleh dilakukan di zona hijau dengan menerapkan ini dan itu. Soal biayanya bagaimana, risikonya seperti apa, silakan pikir sendiri.
Begitu pun dengan cara PJJ, rakyat belum melihat kebijakan strategis apa yang bisa menjadi jalan keluar dari kesulitan yang dihadapi saat ini. Jangankan menyesuaikan kurikulum di masa pandemi, memfasilitasi sarana PJJ, Mas Menteri justru mengeluarkan pernyataan yang “Out of The Box”: PJJ akan diterapkan secara permanen, ada atau tidak ada pandemi. (Mh)