ChanelMuslim.com- Residu itu sisa kotoran dari interaksi. Jika interaksinya di luar, sisa kotorannya kadang masih melekat dan terbawa ke dalam rumah.
Selalu ada residu atau sisa kotoran dari interaksi dengan dunia luar. Karena tidak ada jaminan di luar rumah selalu bersih.
Ada kotoran yang berasal dari sisa interaksi melalui mata. Interaksi antar lisan. Melalui lintas pendengaran. Dan akhirnya interaksi antar hati.
Residu “Untung Rugi”
Suami istri yang berdagang mungkin sudah terbiasa dengan strik untung rugi. Artinya, selisih harga adalah nyawa yang harus diperjuangkan. Sekecil apa pun selisih itu.
Di dunia perdagangan, hal itu memang wajar. Bahkan, harus. Dengan begitulah, dinamika dagang akan berjalan normal.
Masalahnya, ketika suasana strik untung rugi ini terbawa ke rumah. Kemungkinan ini sangat besar karena porsi keseharian suami atau istri boleh jadi lebih banyak di dunia ini daripada di rumah.
Ketika strik untung rugi ini terbawa ke rumah, segala sesuatu menjadi terasa ada harganya. Padahal, rumah adalah lingkungan cinta yang nilai harganya bukan dengan ukuran selisih harga.
Bayangkan jika untung rugi diterapkan di rumah. Yang paling jadi korban adalah yang di rumah. Bisa istri dan anak. Mereka akan merasakan “penderitaan” di balik bayang-bayang efesiensi atau penghematan.
Logika suasana keluarga bisa dibilang hampir kebalikan dari dunia dagang. Keluarga adalah wadah untuk saling berlomba dalam memberi. Sementara dagang berlomba untuk saling menerima.
Seorang suami atau istri harus “terbuka” kantongnya untuk saling melengkapi. Dan akan lebih dituntut “terbuka” lagi untuk anak-anak.
Hal ini karena anak-anak merupakan aset paling mahal yang dimiliki ayah atau ibu. Jauh lebih mahal dari sekadar modal dagang atau untung rugi dan tabungan.
Hanya hubungan orang tua dan anak yang tidak pernah ada bekasnya. Selebihnya bisa ada bekasnya. Bahkan suami istri sekalipun ketika mereka bercerai.
Hubungan orang tua dan anak akan tetap abadi bukan hanya sebatas di dunia. Melainkan juga di akhirat kelak.
Orang tua bahkan harus berpikir bahwa urusan anak adalah investasi. Bukan variabel belanja. Artinya, semakin tinggi nilai anak, semakin tinggi nilai yang akan kembali ke orang tua.
Di zaman ini, bisa dibilang hampir sulit mencari sarana pendidikan berkualitas yang murah. Bayangkan jika ayah ibu menerapkan untung rugi di sektor ini. Maka anak-anak akan memperoleh sarana pendidikan yang ala kadarnya.
Kalau pun anak-anak diperjuangkan di sarana pendidikan yang lumayan mahal, dengan otak dagang, ayah ibu akan menuntut anak-anak bisa balik modal. Ini runyamnya.
Jadi, silahkan strik tentang untung rugi di dunia dagang suami atau istri di luar keluarga. Tapi ketika untuk keluarga, semuanya beda nilai. Bukan untuk menerima, tapi untuk memberi. [Mh]